Tanah Kuburan Mbah Bendera

Ilustrasi-es.pinterest.com-

"Ah, nggak bu, aku setiap malam sebelum tidur selalu mengirimkan alfatihah ke para leluhur."

"Barangkali kamu suruh datang ke makamnya, kamu sudah lama sekali nggak pulang kampung," kata ibu.

"Sudah yah bu, aku mau berangkat kerja dulu. Nanti aku akan ambil cuti dari kantor."

BACA JUGA:Perempuan Penggenggam Pasir

BACA JUGA:Sungai Yang Meminta Kedatangan

Sehari-hari aku bekerja menjadi jurnalis di sebuah media yang terletak di Jakarta Pusat. Jurnalis memang tak tentu kerjanya, hari itu aku berangkat siang, setelah Dzuhur.

Media tempatku bekerja unik, berbeda dari kebanyakan media pada umumnya. Keunikan tersebut mungkin karena faktor terafiliasi dengan organisasi keagamaan.

Hampir 90 persen krunya diisi oleh anak kiai, ada anak kiai dari Cirebon, Brebes, Semarang, Magelang, Bekasi. Hal inilah yang membuat temanku yang bekerja di media mainstream keheranan.

"Kok kamu bisa masuk ke media tersebut, kamu ini kan bukan anak kiai, bukan santri pula," ujar Icus suatu ketika.

BACA JUGA:Rubik Hati Naras

BACA JUGA:SESUATU DALAM MAHKOTANYA

"Jangan salah, meskipun gua bukan anak kiai. Begini-begini gua ini pernah nyantri selama tiga tahun, meskipun di pondok gua lebih banyak tidur sih."

"Tetapi nyaman kan di sana? Gaji aman?" tanya Icus nyerocos sambil makan.

"Ya begitulah," ujarku tertawa.

"Gajinya ya gaji khidmat," imbuhku.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan