Tanah Kuburan Mbah Bendera

Ilustrasi-es.pinterest.com-

Ya, memang sebagian orang di sana tidak suka terhadap diriku. Beberapa kali aku dicari kesalahannya. Kesalahan yang terkesan diada-adakan. Namun, lagi-lagi aku masih aman. Tetapi siang itu lain, aku dipanggil oleh Pimred, Laniv namanya. Aku dipecat. Masih mending dipecat kalau dapat pesangon. Lah ini boro-boro dapat pesangon, gaji hanya dibayarkan separuh. Tetapi aku tidak bisa protes, sebab memang tidak ada hitam di atas putih.

BACA JUGA:Celurit Matrah

BACA JUGA:Defisit Kebudayaan: Sastra dalam Bayangan Pasar dan Prinsip 5W-1H

Seketika itu juga aku langsung membereskan barang-barangku di kantor. Tetapi itu bukan persoalan, persoalannya adalah saat sedang membereskan barang-barang itulah.

Beberapa orang di sana termasuk Laniv mengolok-olok diriku. Diriku yang tak punya ijazah sarjana. Aku tidak masalah dengan ejekan itu, yang menjadi masalah Laniv dan yang lain mengolok-olok keluargaku sebagai penganut ilmu hitam.

Ingin aku marah, tetapi nuraniku mengatakan lebih baik diam. Sebab dengan diam, setidaknya bisa menyelamatkan dari kemungkinan terburuk. Malam itu juga aku pulang ke kampung, dengan tujuan menenangkan pikiran.

Sebelum aku berziarah ke Mbah Bendera, siang harinya aku berkunjung ke rumah Mbah So, adik dari kakekku. Tanpa aku minta dia menceritakan tentang Mbah Bendera. Sebuah cerita yang aku dengar setiap kali berkunjung ke rumahnya.

BACA JUGA:SANG PELATIH

BACA JUGA:Natal di Keluarga Barbara

"Mbah Bendera, bukanlah nama asli. Itu hanyalah julukan yang diberikan oleh Pangeran Diponegoro, yang pada masa itu dikenal dengan nama kecilnya, Raden Mas Ontowiryo. Sejak kecil ia telah dititipkan oleh orang tuanya untuk nyantri kepada Pangeran Diponegoro," ujarnya.

Mbah So dengan pembawaan tenang dan suara halus menceritakan bahwa di bawah bimbingan pangeran yang kelak menjadi pemimpin perang terbesar di Jawa, Bendera tumbuh menjadi seorang pemuda yang tubuhnya tidak terlalu besar, namun lincah dan gesit. Kemampuan Bendera dalam bertarung serta bertahan hidup dalam kondisi sulit membuatnya dipercaya untuk membawa panji perang.

Dia menggambarkan sosok Bendera sebagai pemuda kurus berusia dua puluhan, dengan destar hitam melilit kepalanya, dada terbuka, dan mengenakan celana hitam sebatas lutut, serta kain hitam putih melilit rapi di pinggang, tempat keris terselip.

Setiap kali pasukan Diponegoro bergerak, panji itu selalu berkibar di tangan Bendera, memberikan semangat dan harapan bagi prajurit-prajurit yang siap mengorbankan nyawa demi kebebasan.

BACA JUGA:MAKAM KERAMAT BAH UYUT

BACA JUGA:Penjamah di Tanah Tuah

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan