Sungai Yang Meminta Kedatangan

Ilustrasi-ist-

Karya Heri  Haliling

Sebuah bendungan  membelah sungai lebar nan panjang di samping pusat kota yang sarat dengan kecongkakan.

Di atas bendungan adalah jalan raya yang difungsikan sebagai  penghubung warga  yang akan merangkak ke kota. Sejatinya, cerita ini bukan tentang hiruk pikuk kekejaman kota yang merajam warga di pinggiran sungai.

Mula kisah ini justru lahir di antara kecokelatan air, tumpukan bambu, ranting pohon, plastik chiki-chiki, botol minuman plastik, puluhan popok sampai alat kontrasepsi, serta 'maaf' kotoran manusia yang mengambang.

Dengan siraman air keruh dari turbin yang terbuka, semua lanskap sampah itu seumpama perhiasan yang berkerumun di leher bawah bendungan.

BACA JUGA:Rubik Hati Naras

BACA JUGA:SESUATU DALAM MAHKOTANYA

Adalah Pak Prehatin yang berperawakan kurus dengan kaos oblong putih kumal dan mengenakan topi temuannya yang terlihat berjemur ria di tengah sengat surya yang membakar.

Kedua tangan legamnya erat mendorong tiang bambu yang sebentar-sebentar menghujam melajukan sampan.

Bersama putranya yang masih SMP, Kinong kadang menggerutu kala mendampingi sang bapak dalam menerebas meteran sampah yang mengapung di air pasang sekitaran bendungan.

"Orang lain bekerja ke kota. Kita mulung, gengsi dikit, Pak" celetuknya yang memang berdasar.

"Kau sangka tetangga kita yang ke sana juga nggak mulung? Sama saja, bukan? Lagian Nong,  profesi ini lebih menjanjikan dari mereka yang utamakan gengsi."

BACA JUGA:Celurit Matrah

BACA JUGA:Defisit Kebudayaan: Sastra dalam Bayangan Pasar dan Prinsip 5W-1H

Kinong yang berkulit kurang lebih dengan bapaknya mencoba menutup alis dengan tangan. Kebiasaannya yang enggan bertopi dibayar lunas oleh matahari siang ini.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan