Defisit Kebudayaan: Sastra dalam Bayangan Pasar dan Prinsip 5W-1H

Sabtu 21 Dec 2024 - 19:53 WIB
Reporter : redaksi
Editor : Ependi
Defisit Kebudayaan: Sastra dalam Bayangan Pasar dan Prinsip 5W-1H

Lebih menyedihkan lagi adalah mindset yang mengakar di banyak instansi: para pegiat sastra sudah cukup senang diberi ruang untuk tampil.

Sebuah anggapan yang, tanpa disadari, menjadi pisau tumpul yang perlahan-lahan membunuh regenerasi sastra. Anak muda kehilangan minat karena merasa tidak ada manfaat yang bisa diraih dari dunia ini.

Dan dengan hilangnya minat itu, sastra tak hanya kehilangan penulis-penulis potensial, tetapi juga kehilangan pembacanya, kehilangan audiensnya, kehilangan maknanya.

BACA JUGA:Kembali ke Laut

BACA JUGA:Ibu Sambung

Indonesia, dalam perjalanannya sebagai sebuah bangsa, telah mengalami berbagai transformasi budaya yang mencerminkan dinamika zaman.

Seiring berjalannya waktu, sastra—sebagai bentuk tertinggi dari kebudayaan yang berakar dalam kata—mendapatkan tempat yang semakin terpinggirkan.

Kegelisahan ini mencuat dalam pernyataan Prof. Djoko Saryono yang menggambarkan Indonesia sedang dilanda defisit kebudayaan. Di tengah arus globalisasi yang cenderung materialistis, sastra sebagai sarana eksplorasi diri dan peradaban mengalami krisis penghargaan.

Namun, di balik fenomena ini, terdapat makna yang lebih dalam tentang eksistensi sastra, baik dalam konteks filosofi, sosiologi, maupun estetika.

BACA JUGA:GUBUK KECIL DAN RINTIK HUJAN

BACA JUGA:Wanita yang Nglungsungi Seperti Ular

Melalui karya-karya besar sastra, baik yang klasik maupun kontemporer, kita dapat menggali kembali kedalaman nilai-nilai yang terkandung dalam sastra, yang pada dasarnya adalah cerminan peradaban manusia itu sendiri.

Secara filosofis, sastra memberikan sebuah ruang bagi manusia untuk menguji dan merefleksikan eksistensinya. Sebagaimana dikatakan oleh F. Scott Fitzgerald dalam The Great Gatsby, "Gatsby believed in the green light, the orgastic future that year by year recedes before us."

Kutipan ini menggambarkan pencarian tak henti manusia akan harapan dan ambisi, sebuah pencarian yang abadi meskipun selalu menjauh.

Dalam konteks ini, sastra menjadi kendaraan untuk mengungkapkan makna-makna yang lebih dalam tentang kehidupan, yang kadang tidak bisa dipahami hanya dengan rasio atau logika pragmatis semata.

BACA JUGA:DI NEGERI PARA PESOLEK

Kategori :

Terkait

Sabtu 22 Mar 2025 - 20:23 WIB

Serambi Mesjid Kami Yang Kotor

Sabtu 15 Feb 2025 - 18:30 WIB

Wajahmu Berbeda

Sabtu 01 Feb 2025 - 20:09 WIB

Maksum Najibut

Minggu 26 Jan 2025 - 20:40 WIB

Natal di Keluarga Barbara

Sabtu 04 Jan 2025 - 18:26 WIB

Rubik Hati Naras