Wajahmu Berbeda

Ilustrasi-radarutara.bacakoran.co-
Cerpen : Akbar AP
Tahun baru, layu hatiku. Bukan benci pada orang-orang yang berkerumun merayakan momen di alun-alun, meniup terompet, atau mereka yang bermuhasabah di ruang sunyi rumah.
Namun, 1 Januari nanti, belum pasti tiba seseorang menemaniku diskusi, padahal 2 tahun lalu ada seorang dengan latar perspektif serupa denganku.
Hadirnya selalu menemani diskusi sejak sama-sama menempuh semester perdana pada sebuah perguruan tinggi kota tercinta ini.
Sebatang rokok kuambil lagi dari dalam bungkusnya, kunyalakan korek 2 ribuan, dan menghidupi ujung sebatang kretek ini.
BACA JUGA:Sekuntum Mawar dengan Tangkai yang Patah
BACA JUGA:Negeri Jenggala
Sesudah menyeruput kopi yang sebetulnya mulai mendingin, isapan pelan pun aku lakukan. Asap kuembus mengudara, terus meninggi, dan menghilang di antara lubang-lubang ventilasi atap rumah. Lagi-lagi aku merenung dalam dan jauh. Pada kenang-kenangan yang lama itu.
“Difabel itu seharusnya berdaya atau diberdayakan?” tanyanya pada waktu itu.
“Menurutku, diberdayakan, sih, Ar,” jawabku agak malas.
“Kamu kok lesu gitu, sih? Katanya mau ngajakin diskusi di angkringan legend Kotagede ini sembari malam tahun baruan!” rengutnya, sebal.
“Gimana nggak malas, la wong kamu ngajakin diskusi yang nggak ada kaitannya dengan momentum sekarang ini. Lagian ya, isu itu udah berulang kali diobrolkan, apa kamu nggak bosan?” tanyaku balik dengan tempo cepat.
BACA JUGA:Maksum Najibut
BACA JUGA:Tanah Kuburan Mbah Bendera
“Aku, kan, relawan, Mas Praba!” elaknya, sambil manyun.