BACA JUGA:Sebelum Pandemi dan Sesudah Itu Mati
Fitzgerald, melalui narasi yang penuh simbolisme, mengingatkan kita bahwa pencarian eksistensial manusia tidak selalu mengarah pada hasil yang konkret—seperti pencapaian material atau kesuksesan finansial—tetapi lebih kepada pencarian makna dan keindahan dalam ketidaksempurnaan.
Ini adalah inti dari sastra, yang bukan hanya berkutat pada apa yang tampak, tetapi pada apa yang tersembunyi, yang perlu digali lebih dalam.
Filsuf Jerman, Walter Benjamin, dalam karya terkenalnya The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction, memperkenalkan konsep "aura" dalam seni.
Benjamin berpendapat bahwa karya seni memiliki nilai yang unik, yang tidak bisa digantikan atau direproduksi secara mekanik.
BACA JUGA:PEREMPUAN YANG MENJUAL DIRINYA PADA JARAK
BACA JUGA:Anak Sekolah Dasar yang Mati Tak Berdasar
Aura inilah yang hilang ketika seni—dan dalam hal ini, sastra—dihadirkan hanya sebagai barang konsumsi, yang dihargai bukan berdasarkan nilai artistiknya, tetapi nilai pasar yang dikandungnya.
Dalam dunia sastra Indonesia, kita bisa melihat fenomena ini dalam karya-karya sastra modern, seperti Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, yang menjadi sukses komersial besar, namun seringkali dipandang hanya sebagai produk hiburan, bukannya sebagai karya seni yang memantik kesadaran sosial.
Benjamin mengingatkan kita bahwa sastra yang terlepas dari nilai "aura"-nya akan kehilangan kedalaman filosofisnya, berubah menjadi barang yang mudah dilupakan dan tergantikan.
Keterasingan sastra dalam ekosistem kebudayaan kita semakin nyata ketika kita melihat fenomena di lapangan, di mana acara sastra atau diskusi-diskusi budaya kerap kali dianggap tidak memberikan "keuntungan praktis."
BACA JUGA:Kembali ke Laut
BACA JUGA:Ibu Sambung
Ini bisa dilihat dalam penurunan apresiasi terhadap karya-karya sastra yang lebih mendalam, seperti yang terjadi pada karya-karya klasik Indonesia, misalnya Siti Nurbaya karya Marah Rusli atau Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka.
Kedua karya ini, meskipun dipenuhi dengan kritik sosial yang tajam dan kecerdasan narasi yang mendalam, sering kali dibaca hanya sebagai teks sejarah atau bahan pelajaran di sekolah.
Padahal, sastra-sastra klasik ini, sebagaimana disebutkan oleh M. H. Abrams dalam The Mirror and the Lamp, adalah cermin dari "kesadaran kolektif" sebuah bangsa, tempat nilai-nilai moral dan budaya dibangun.