Defisit Kebudayaan: Sastra dalam Bayangan Pasar dan Prinsip 5W-1H

Sabtu 21 Dec 2024 - 19:53 WIB
Reporter : redaksi
Editor : Ependi

oleh Fileski Walidha Tanjung 

Indonesia sedang dilanda defisit kebudayaan. Ungkapan ini, sebagaimana pernah dikatakan oleh Prof. Djoko Saryono, seolah menggema sebagai lonceng pengingat atas apa yang semakin terlihat: budaya kita kini tergadai di antara kebutuhan pragmatisme dan nilai yang kabur.

Di tengah hingar-bingar dunia seni yang selalu menjadi cerminan paling jujur dari masyarakatnya, sastra berada di persimpangan, bertahan di antara idealisme yang rapuh dan tuntutan zaman yang materialistis.

Dan di sinilah prinsip sederhana 5W-1H tak sekadar menjadi formula analitis, tetapi justru membuka tabir tentang “siapa yang bayar” dan “siapa yang dibayar” dalam pertarungan eksistensi kebudayaan.

Di masa mahasiswa, saya begitu idealis. Berbicara tentang uang dalam berkesenian adalah hal tabu, nyaris dianggap dosa.

BACA JUGA:Kembali ke Laut

BACA JUGA:Ibu Sambung

Sastra, bagi saya kala itu, adalah ruang sakral yang tak layak dicemari pertimbangan finansial. Saya bersumpah pada diri sendiri bahwa kelak ketika saya telah memiliki penghidupan dari pekerjaan lain, saya akan tetap menjaga kesucian niat itu.

Namun, seperti bayangan hantu di malam sepi, janji idealisme itu kini menghantui saya.

Saat saya berkaca, dosa-dosa itu muncul dalam bentuk kegagalan memahami apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh sastra: penghargaan yang nyata, bukan sekadar tepuk tangan hampa.

Lihatlah dunia musik. Di sana, roda ekosistemnya berjalan dengan mulus, meski tetap berputar dalam logika pasar. Seorang siswa les musik membayar untuk belajar. Ikut coaching class, bayar.

BACA JUGA:GUBUK KECIL DAN RINTIK HUJAN

BACA JUGA:LELANANGE JAGAD MERINGKUK DI KOSAN

Menonton konser, bayar. Dan ketika keahlian itu terasah, dia akan diajak job musik dan mendapatkan bayaran pula. Kemudian, siklus berlanjut: membuka kursus musik, menjadi guru musik, tampil di acara besar atau kecil, semua dihargai dengan uang.

Di sinilah musik menjadi profesi yang bukan hanya bernilai estetis, tetapi juga bernilai ekonomis. Bayaran, dalam konteks ini, bukanlah sesuatu yang vulgar, tetapi wujud konkret dari penghargaan atas keterampilan dan kerja keras.

Namun, berbeda dengan sastra. Ikut workshop menulis, gratis. Narasumbernya pun bekerja tanpa bayaran. Membaca puisi di acara? Lagi-lagi gratis.

Kategori :

Terkait

Sabtu 27 Jul 2024 - 21:04 WIB

Bukan Dia, Romeomu

Sabtu 15 Jun 2024 - 19:58 WIB

Monolog Pluto

Sabtu 20 Apr 2024 - 17:50 WIB

Mencintaimu Seperti Filosofi Hujan