Wajahmu Berbeda

Ilustrasi-radarutara.bacakoran.co-
Aku terdiam kehabisan kata-kata. Perlahan, malu menyergap. Nanar kutatap mata jelita perempuan itu. Banyak makna yang terpancar. Namun, saat ini lebih banyak kutemukan kesabaran, kecerdasan, dan kelembutan.
“Aku tidak bisa terlalu malam, Mas. Mampir ke kediamanmu ini pun, sebab jalan yang kuambil melintasi. Aku tadi dari belanja. Besok aku juga harus pagi-pagi mengisi majelis psikologi keagamaan di masjid dekat rumah. Kalau mau berbincang lebih banyak, datanglah! Pintu rumah selalu terbuka.”
BACA JUGA:Sekuntum Mawar dengan Tangkai yang Patah
BACA JUGA:Negeri Jenggala
Ardina berdiri, matanya mengerling, dan sesudahnya dia pergi dengan iringan pamit. Sebuah kertas yang berisi puisi ditinggalkannya. Sepertinya memahami apa yang tengah aku galaukan saat ini.
Siaga Untuk Memanusia
Mengudarakan semerbak cinta adalah kerja dari tanah yang merindukan janji hujan,
Kenyataannya langit belum mengutusnya juga ke bumi untuk menemui.
Meranggasnya tetumbuhan, mengeluhnya bibir binatang dan insan, juga surutnya sekaligus mendidih lautan merupakan sebuah pertanda.
Berakhirkah dunia, berhentikah takdir manusia dan segenap makhluk?
Kefanaan, kehancuran, kematian, dan ketiadaan, itulah kita,
Sekianlah literatur ritus menyabdakan.
BACA JUGA:Maksum Najibut
BACA JUGA:Tanah Kuburan Mbah Bendera
Dedaunan, jatuh.
Pelan, pasti.