Kunang-kunang di Matamu
Ilustrasi -pngtree.com and net-
Kau menatap lantai. Ada pecahan cahaya lampu memantul di keramik. Aku melihat bayangan wajahmu di situ, remang dan rapuh.
“Aku ingin bilang aku menyesal,” katamu.
Aku menarik napas pelan. Kata itu datang terlambat, seperti hujan yang turun saat jas hujan sudah dibuang. Tapi tetap saja basah. Tetap saja dingin.
“Kau tahu,” ujarku, “kunang-kunang itu makhluk yang aneh. Mereka bercahaya, tapi rapuh. Mereka muncul di malam hari, tapi tak pernah mau benar-benar dekat dengan gelap.”
Kau tersenyum. Senyum yang penuh beban, seperti kau sedang menyimpan sesuatu di balik punggungmu dan tak berniat menunjukkannya.
“Maksudmu aku?” tanyamu.
“Mungkin. Mungkin aku juga.”
“Atau mungkin kita hanya cahaya yang keliru.”
“Atau kita cahaya yang terlambat.”
Kopi di tanganmu mengepul pelan. Di luar, malam turun sepenuhnya. Tak ada bintang. Tak ada angin. Hanya sunyi yang duduk di antara kita, menatap dari balik jendela.
BACA JUGA:Kami Tunggu Ibu di Api
BACA JUGA:Kopi Pahit di New York
“Kau akan pergi lagi?” tanyaku.
Kau tidak menjawab. Tapi aku tahu jawabannya. Sama seperti aku tahu bahwa esok pagi kau akan jadi bayangan saja. Seperti sebelumnya.
Kau tak menginap malam itu. Tapi jejak langkahmu tinggal lama di lantai ruang tamu, seperti suara yang tak bisa dilupakan. Aku tidur larut, dan dalam tidurku, aku bermimpi tentang kunang-kunang. Mereka beterbangan di dalam kamar, berkerlap-kerlip seperti kenangan yang tak pernah selesai.