Kami Tunggu Ibu di Api
Heri Haliling-Dok Radar Utara-
Karya : Heri Haliling
Aku lapar. Tapi dua dedeku nangis terus. Aku nggak tahu mengapa? Mungkin mereka juga lapar. Padahal aku udah kasih biskuit terakhir kemarin.
Rumah ini gelap dan gordennya bau. Di luar ada bunyi ramai, tapi nggak ada satu pun yang buka pintu. Ibu bilang jangan buka pintu ke siapa-siapa. Tapi Ibu juga nggak pulang-pulang. Katanya ketempat Om Han.
"Pulang nanti, ibu bawakan es krim ya" seingatku begitu kata ibu. Tapi ini telah lewat magrib.
Aku melanjutkan main cilukba dengan Dede Jojo dan Dede Awa. Mereka duduk masih rewel di ember kosong. Sesekali ku dorong dan ku tarik. Seperti biasa aku berperan jadi ibu. Aku ucapkan "Sabar ya? ibu pulang kok sebentar lagi."
BACA JUGA:Kopi Pahit di New York
BACA JUGA:Jejak Cinta
Mendadak dua adikku itu girang berjingkrak lalu memelukku.
Bau hangus kemudian tercium masuk dari bawah pintu dapur. Seperti bau baju Ibu waktu nyetrika. Tapi ini lebih pekat. Sekejab udara memanas. Dede Jojo dan Awa mulai batuk. Aku peluk keduanya. Aku bilang, "Nggak papa, nanti Ibu pulang." Tapi mataku panas. Tuhan, langit-langit rumah kami telah mengabut.
Aku beranjak. Berlari ke pintu utama. Aku mau panggil Ibu. Namun suaraku kecil. Lebih kecil dari api.
Aku genggam tangan Dede Jojo. Dia tambah batuk dan terus gigit jari. Aku berkata, "Kita main tangkapan saja yuk, tapi harus jalan pelan-pelan." Aku dan mereka masih tertawa. Namun sungguh dadaku deg-degan. Dalam ruang yang mulai pekat ini aku bingung. Ada ketidakstabilan antara pikiran dan prilaku. Apa karena aku yang masih 3 tahun ini? Entahlah.
Sekarang kami berjalan merangkak. Aku duluan. Dede Jojo dan Awa di belakangku. Mengekor bagai kereta. Ku rasakan karpet basah. Mungkin Dede Awa pipis. Dia usik dan ku tenangkan, "Ssst. nanti ibu denger, kita harus diem."
BACA JUGA:MALING KONDANG
BACA JUGA:Mendoakan Kematian?
Prang!!