Menghitung Cuan Hilirisasi Industri Sawit

Sabtu 03 Feb 2024 - 17:09 WIB
Reporter : Dodi Haryanto
Editor : Ependi

Hilirisasi, saat ini menjadi mantra sakti di semua sektor penggerak ekonomi di Indonesia. Salah satu sektor yang menjadi bagian dari kebijakan nasional itu adalah industri kelapa sawit.

Sebagai bagian yang menjadi fokus Kementerian Perindustrian (Kemenperin), hilirisasi industri sawit dimaknai sebagai upaya strategis meningkatkan nilai tambah komoditas kelapa sawit melalui proses pengolahan agar menjadi produk turunan yang memiliki nilai jual lebih tinggi.

Mengutip laman resmi Kemenperin, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika menyampaikan, beberapa keuntungan yang telah didapatkan dari program hilirisasi industri kelapa sawit, antara lain, optimalisasi penyerapan hasil produksi petani rakyat (smallholder), penyediaan bahan pangan, nonpangan, dan bahan bakar terbarukan, hingga membangkitkan ekonomi produktif berbasis industri pengolahan.

Selain itu, hilirisasi industri sawit juga mampu meningkatkan perolehan devisa negara dari ekspor produk hilir, berkontribusi pada keuangan negara melalui penerimaan pajak dan bukan pajak, serta menyuplai kebutuhan dunia terhadap pangan dan energi (feeding and energizing the world).

BACA JUGA: Daya Saing Digital Indonesia

BACA JUGA: Selangkah Menuju Indonesia Terang 100%

Peta Jalan

Dalam menjalankan program hilirisasi industri kelapa sawit, Kemenperin menerapkan bauran kebijakan (policy mix). Ini sesuai Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional 2015--2035 dan beberapa peraturan tentang kebijakan industri nasional.

Sebagaimana diketahui, peta jalan pengembangan industri hilir kelapa sawit diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian nomor 13 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian nomor 111/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit, yang menjadi prakarsa penentuan prioritas pengembangan industri hilir kelapa sawit.

Terdapat dua kebijakan utama dalam mempercepat pertumbuhan populasi industri hilir kelapa sawit, yaitu kebijakan fiskal tarif bea keluar progresif sesuai rantai nilai industri, serta insentif perpajakan bagi investasi baru atau perluasan sektor industri oleofood, oleochemical, dan biofuel.

BACA JUGA: Melanjutkan Kebangkitan Industri Pariwisata Indonesia

BACA JUGA:BERIKUT 4 TIPS RINGAN UNTUK KESELAMATAN PERJALANAN BERSAMA ANAK DAN KELUARGA

Kedua kebijakan tersebut, dinilai efektif dalam mendorong hilirisasi industri kelapa sawit. Dalam sejarahnya, hilirisasi industri kelapa sawit memang sudah lama berjalan. Data pada 2007, memperlihatkan volume ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sudah sekitar 60 persen dari total ekspor kelapa sawit nasional. CPO adalah bahan baku industri pangan, nonpangan dan biofuel di negara tujuan ekspor sehingga nilai tambahnya kurang dinikmati oleh domestik.

Pada saat itu (akhir 2007), jumlah atau ragam jenis produk hilir turunan kelapa sawit dan minyak sawit yang dihasilkan di Indonesia hanya sekitar 54 jenis. Kini, di awal 2024, jumlahnya sudah berkembang menjadi 179 jenis, antara lain, meliputi produk oleofood dan oleochemical. Melalui kebijakan bea keluar yang berorientasi pro-industri, pertumbuhan kapasitas produksi industri minyak goreng, oleofood, oleokimia, dan biodiesel meningkat secara signifikan,jelas Putu.

Berikutnya, pada 2010, kapasitas pabrik pengolahan CPO (refinery) hanya sekitar 25 juta ton. Namun, melalui kebijakan hilirisasi, kapasitas refinery meningkat tiga kali lipat menjadi 75 juta ton pada 2022.

Kategori :