
“Terus maumu bagaimana, Ar?” lirihku memelas.
BACA JUGA:Sekuntum Mawar dengan Tangkai yang Patah
BACA JUGA:Negeri Jenggala
“Idih, bocah tua! Pikir aja sendiri!” Ardina menghabiskan gorengan, lekas menyeruput minuman, dan beranjak pergi selepas melunasi pembayaran.
“Jangan temui aku selagi sikapmu masih kekanak-kanakan begitu, Mas.” Sinis ucapannya menghunjam dalam hati.
Aku terpaku, tangan tidak berhenti mengaduk kopi hingga gula jawanya larut menyatu. Separah itukah sikap bocilku? Apa jangan-jangan, resolusi yang diingini Ardina seperti pria-pria kaya dan gendut gemoy yang senantiasa berjajar rapi di meja bundar? Atau, ada ekspetasi lain? Pusing tak habis-habis aku memikirkan.
Sampai terbawa pulang, bahkan hingga hari ini keketusan sikap teman karib gadisku itu masih membayangi.
Aku mengembuskan napas dalam-dalam. Sempat terlintas dalam benak, sebuah ingatan pada video yang pernah mengatakan kalau kemauan dan harapan wanita itu butuh dirasakan dengan kepekaan.
BACA JUGA:Maksum Najibut
BACA JUGA:Tanah Kuburan Mbah Bendera
Tidak akan selesai masalahnya kalau Cuma ego yang dipergunakan. Jangan-jangan, selama ini caraku tidak tepat, gayaku nggak pas dengan kriteria Ardina? Lagi-lagi pusing mendera.
Lekas kubuang jauh ke dalam lipatan terdalam pikiran persoalan itu.
Aku beranjak keluar rumah, duduk pada sebuah lincak yang biasanya kugunakan untuk menerima tamu. Semilir angin malam, pemandangan orang ramai yang melintas silih berganti di jalanan depan, dan langit yang bersih dengan bulan dikawal bintang setidaknya melipur laraku.
Sesekali tampak beragam warna dan ukuran kembang api di sana, semarakan waktu pergantian tahun baru.
“Assalamualaikum, Mas Praba!” Terdengar uluk salam, mengalihkan perhatianku dari teatrikal langit, kembali fokus kedepan.
“Wa, wa, waalaikumussalam,” gagap kujawab salam itu.