Tirani Biru dan Isinya yang Terbelenggu

Heri Haliling-Heri Haliling/Dok Radar Utara-
Cerpen : Heri Haliling
Dulunya tempat melabuh kapal kami ini adalah pesisir. Pasirnya sama putih dengan yang ada di sana, kira-kira 1 km jaraknya.
Dulunya kami bermain bola di sini, sebelum gedung-gedung pencakar langit di sana mengecor tanah kami. Sebelum perumahan elit itu menyikuti rumah sehingga warga numpuk di pinggir sungai.
Bangun rumah di sana bersesak-sesak sampai sang sungai susah bernapas. Di tempatku sekarang ini, lima tahun yang lalu tumbuh kebun kerumunan bakau. Tumbuhan teduh itu paru-parunya lautan.
Selain sarang ikan, kepiting, dan kerang, bakau setiap hari rela bergoyang menahan deburan yang berakibat abrasi.
BACA JUGA:Dendam Seorang Perempuan
BACA JUGA:Dalam Kebisuanku
Nyatanya itu lima tahun yang lalu. Sekarang saksikanlah! Sepanjang 10 km dari sini adalah pancangan bambu yang dibuat sebagai tapal batas.
Kemana kebun kami? Oknum super power di sana mencabutinya lalu menjelma sebagai pahlawan dari Negeri Nomaden ini. Pahlawan picik yang bertameng modernisasi pembangunan.
Aku merapatkan kapal dengan menarik laso yang kuikatkan pada pancangan bambu pagar ini. Riak ombak menggelitiki kapal kami menjadikannya oleng ke kanan dan ke kiri.
Ku tarik terus hingga merapat pada anjungan. Ku amati Rohmat, sahabatku masih sibuk mengeloni bubu-bubu rajungannya yang koyak di buritan kapal. Sesekali sumpah muncul karena bubu penampung nasi untuk keluarganya itu hancur dihantamkan ombak ke pagar bambu.
BACA JUGA:Serambi Mesjid Kami Yang Kotor
BACA JUGA:RUMAH MATAHARI 2
Aku nyengir sambil berjalan mengencangkan tali. Aku meloncat ke atas pagar. Campuran tanah dan pasir berbungkus karung menerapi kakiku.
Aku injak lebih keras, bahkan ku ludahi sekalian. Tuhanku, reklamasi ini akan kubur kami sebagai kasta terendah sebentar lagi.