Belenggu Sistem

Khaerul Majdi-ist-
“Anda ini kacau, Pak. Hanya memikirkan diri sendiri. Jika Moi ditangkap, puluhan orang akan dijebloskan ke penjara.”
“Apa masalahnya?” Tanya Jaksa Amir
“Bayangkan jika mereka diseret ke pengadilan, berapa keluarga yang akan kehilangan ayah? Pikirkan keluarga dan anak isteri mereka yang harus dinafkahi!”
“Saya cukup arif untuk mengerti alasan anda. Alasan anda sangat bermoral,” jawab Jaksa Amir, ”tapi bagaimana mungkin itu dijadikan alasan utama untuk tidak menghukum mereka yang berkompromi pada kebusukan?”
“Jika keluarga mereka tetap dijadikan sebagai alasan, kapan hukum akan tegak dan langit yang luhur akan memberi keberkatan pada bumi yang subur ini?”
BACA JUGA:Dendam
BACA JUGA:Di Balik Pintu Hotel Melati
Silat lidah itu membuat Jaksa Amir geram. Ia tidak ingin terbawa perasaan. Jaksa Amir mencoba mengendalikan emosi agar amarahmya bisa diredam. Setelah mereka saling mendiamkan satu sama lain, Jaksa Latif pergi meninggalkan Jaksa Amir seorang diri.
“Kurang ajar! Berengsek!” Batinnya sambil melangkahkan kakinya keluar ruangan.
Hari mulai muram bersamaan dengan keengganan matahari menyingkapkan bayan sinarnya menerangi langit lebih lama. Purnama juga kalis. Disembunyikannya cahaya malamnya sebagai pertanda bahwa ia juga sungkan. Alam seperti ragu-ragu dan berat hati memberi takzim pada bumi yang subur ini.
Keesokan harinya, di saat embun pagi mulai berjatuhan dari dedaunan, Jaksa Amir memarani rumah Bagir, Kepala Staf Kehakiman Negeri. Ia berencana membicarakan persoalan ini secara tertutup di rumahnya.
BACA JUGA:Cecep Ingin Menjadi Kaya
BACA JUGA:Ibu, Pematang Sawah dan Cerita Seorang Gadis
Di perjalanan, rintikan hujan menerpa kaca mobil sedan miliknya; deras dan angin berhembus cukup kencang. Kepulan awan menghitam begitu pekat. Di atas pekat aspal, Ia bagai musafir yang hanya membawa bekal nyawa, sedang mulutnya kering seperti padang gurun.
Di belakangnya, tiga mobil berwarna hitam mengikutinya dari belakang seperti ingin memata-matai perjalanannya.