Sekuntum Mawar dengan Tangkai yang Patah

Ilustrasi-pixabay.com-

BACA JUGA:SANG PELATIH

"Lan," suara ibunya terdengar kuyu. "Lihatlah rupaku." Lana menatap wajah ibunya. Tak dapat dipungkiri sejak kejadian itu wajahnya kian tirus. Malu memang membuat batinnya hancur. Tapi ketiadaan putrinya itu sungguh menyiksanya bertahun-tahun. 

 Dari bilik jendela kayu yang mulai lapuk itu Lana menatap ke luar. Ingatnya berpendar ke kejadian tiga tahun lalu.

"Maulana!!!! Bu Darmi!!! Hoyy Maulana!!!" seru salah seorang warga diikuti keramaian puluhan orang di belakangnya.

Dengan batu dan bambu, balok hingga golok sebagian warga menyeret dua sejoli. Keduanya setengah telanjang. 

Bu Darmi keluar rumah dengan ketakutan. Maulana mendekap ibunya di depan pintu. Pada malam mencekam itu keruh suasana bertabuh kengerian angkara.

BACA JUGA:Natal di Keluarga Barbara

BACA JUGA:MAKAM KERAMAT BAH UYUT

"Bu Darmi!! Bagaimana ini. Lihat putrimu. Bikin dosa!!! Bikin sial satu kampung! Gadis sundal!!" umpat Tikno, ketua RT.

Bu Darmi yang sudah ada firasat bahwa hal ini lambat laun akan terjadi hanya menunduk dengan tak berani menatap putrinya. Badannya bergetar-getar dan itu dirasakan Maulana.

"Dia bukan lagi bagian dari keluarga ini!" tegas Maulana.

Bu Darmi melongokkan kepala menatap wajah Lana. Sekejap pandangannya beralih ke Sisha, putrinya dalam keadaan mengenaskan. Tubuh putrinya berbalur warna biru bekas pukulan.

"Lana! Kau tak boleh bicara begitu" Bu Darmi maju menyongsong putrinya. Keduanya berpelukan dan kian tumpah ruahlah segala tangisan. 

BACA JUGA:Penjamah di Tanah Tuah

BACA JUGA:Perempuan Penggenggam Pasir

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan