Dimulai dengan Amati Geni yang merupakan perjuangan lepas dari penerangan di dunia sampai dengan menahan hawa nafsu.
Selanjutnya, Amati Karya yakni larangan segeala bentuk aktivitas fisik, selain yang didedikasikan untuk pembersihan dan pembaharuan spiritual.
Kemudian, Amati Lelungan yakni meninggalkan segala aktivitas pekerjaan di luar rumah sehingga wajib bertinggal di dalam rumah.
BACA JUGA:Pemda Harus Punya Konsep Berangus Rente
BACA JUGA:Saat Wabup ASA Bicara Soal Kampus
Terakhir, adalah Amati Lelanguan yang merupakan simbol perlawanan hingar-bingar keduniawian, sehingga lebih digunakan untuk bermeditasi, instrospeksi untuk lebih dekat dengan Sang Hyang Widi Wasa.
"Empat larangan ini harus dilakukan. Tidak boleh dilanggar. Dan menjadi titik balik kedua, setelah perlawanan dalam prelina yakni membakar simbol keangkaramurkaan," Made Astawa menjelaskan.
"Keberhasilan dari Nyepi adalah untuk melahirkan sebuah pikiran dan batin yang bersih, layaknya bayi," susul Made menegaskan.
Keberadaan umat Hindu Bali di daerah ini, memiliki utas sejarah pilu, bahkan mencekam yang terjadi pada masa lampau.
BACA JUGA:Luasan Sawah di Bengkulu Utara Terus Menciut
BACA JUGA:Meriahnya Pawai Sambut Ramadan di Bengkulu Utara
Sejarah pilu itu, mewarnai keberadaan masyarakat Bali yang kini menjadi bagian di Kabupaten Bengkulu Utara, enam dasawarsa lamanya.
Kepingan nestapa itu, diawali dengan amukan vulkanik mematikan Gunung Agung, Bali kala itu. Peristiwa mengerikan dan mematikan ribuan nyawa yang terjadi 1963 silam.
Ledakan yang membuncah, akibat penyumbatan nadi fluida panas (batuan dalam wujud cair atau lava,red) yang memanjang dari kedalaman di bawah lapisan bumi sampai ke permukaan bumi, membuat Gunung Agung meledak dahsyat.
Ribuan orang mati. Tertimpa abu vulkanik panas yang terjadi di masa pemerintahan orde baru (Orba) saat itu.
BACA JUGA:Jelang Tes ASN 2024, Ini Catatan Kasus Seputar e-meterai