Cerita di Balik Surplus Neraca Perdagangan Indonesia
Surplus neraca perdagangan April 2024 mencapai USD3,56 miliar. Komoditas penopang utamanya adalah bahan bakar mineral yang didominasi batu bara serta lemak dan minyak hewan nabati, terutama minyak sawit dan produk turunannya.- ANTARA FOTO-
Merujuk Deputi Bidang Statistik Perdagangan dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan, sebelumnya, Indonesia pernah mengalami surplus beruntun neraca perdagangan barang. Surplus neraca dagang paling lama terjadi selama 152 bulan berturut-turut sejak Juni 1995 hingga April 2008.
”Kemudian, pada Januari 2016 hingga Juni 2017, neraca dagang Indonesia juga mengalami surplus selama 18 bulan beruntun,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar secara hibrida di Jakarta.
BPS juga mencatat, surplus neraca perdagangan barang selama empat tahun itu disokong surplus nonmigas yang mencapai US$224,15 miliar. Surplus tersebut juga tidak terlepas dari defisit neraca dagang yang sebesar US$66,93 miliar.
Selama 48 bulan beruntun itu, RI mengalami surplus dagang terbesar dengan Amerika Serikat senilai US$54,24 miliar, India US$42,74 miliar, dan Tiongkok US$34,81 miliar. Sementara defisit dagang terbesar dialami RI dengan Australia senilai US$21,35 miliar, Singapura US$18,91 miliar, dan Brasil US$9,64 miliar.
BACA JUGA:Aturan Baru Parkir Devisa, Valas Tenteram di Dalam Negeri
BACA JUGA:Menteri ESDM Tegaskan lagi Komitmen Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca
Menarik disimak, sekalipun surplus, ada sejumlah hal yang mesti diperhatikan dalam kinerja ekspor-impor Indonesia. Apalagi, dalam pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) 5,05 persen pada 2023, ekspor bersih—atau ekspor dikurangi impor—hanya menyumbang 0,66 persen. Tahun lalu, ekspor tumbuh 1,32 persen secara tahunan, sedangkan impor tumbuh minus 1,65 persen. (*)
Sumber Indonesia.go.id