Sabung Ayam, Antara Mitos dan Sejarah

Tarung ayam karya Affandi. -Lukisan Seni-

Sayangnya lagi, bicara konteks lokalitas Bali, Geertz tidak memaparkan sejauh mana terdapat perbedaan makna antara sabung ayam dalam bentuk ‘tetajen’ dan ‘tabuh rah’. 

Jelas, kedua ritus sabung ayam ini berbeda konteks dan makna.

Di satu sisi, tetajen ialah ritus sosial yang bersifat profan berupa perjudian, dan di sisi lain tabuh rah ialah ritus yang bersifat sakral dan keagamaan.

BACA JUGA:Korban Begal 1 Orang, Korban Lain Terluka Karena Jatuh Saat Mengejar Pelaku

BACA JUGA:Nenek Sebatang Kara Disantuni Satgas PAM Puter Enggano

Masuk babakan sejarah kemudian. Dalam Kitab Pararaton, Ken Arok, sebelum jadi Raja Singasari di abad ke-13, konon ialah tukang sabung ayam. 

Pun sejarah mencatat, di Kerajaan Shingasari pernah terjadi peristiwa politik besar saat momen sabung ayam. 

Raja Singhasari yang berkuasa saat itu, Anusapati, dibunuh adik tirinya, Tohjaya, saat raja itu menyaksikan sabung ayam.

Raja Hayam Wuruk yang berkuasa di Kerajaan Majapahit 1350-1389 juga menarik disimak. 

BACA JUGA:Kepastian Skema Seleksi Panwascam Mendesak!

BACA JUGA:Safari ke Desa Padang Kala, Wabup ASA Diminta Tak Ragu Maju Bupati

Di masa itu memang lazim pemberian nama orang meminjam nama-nama binatang tertentu. 

Sebutlah Kebo Anabrang, Lembu Sora atau Gajah Mada, misalnya. 

Pemilihan nama-nama binatang kerbau dan gajah, tentu memiliki asosiasi akan kebesaran tokoh-tokoh tersebut. 

Namun demikian nama raja terbesar di era Majapahit, Hayam Wuruk yang juga bergelar Maha Raja Sri Rajasanagara, justru memakai nama ayam. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan