Sabung Ayam, Antara Mitos dan Sejarah
Tarung ayam karya Affandi. -Lukisan Seni-
Masyarakat Jawa mengenal folklore Cindelaras.
Mengambil konteks dan latar belakang sejarah di zaman Kerajaan Jenggala abad ke-11, narasi ini bercerita perihal sabung ayam dan relasinya dengan simbol kuasa.
Tak kecuali bagi masyarakat Sunda, pun ditemui folklore Ciuang Wanara.
Mengambil konteks dan latar belakang sejarah di era Kerajaan Galuh abad ke-8.
BACA JUGA: Kolaborasi Tekan Angka Stunting
BACA JUGA:Korban Begal 1 Orang, Korban Lain Terluka Karena Jatuh Saat Mengejar Pelaku
Kedua folklore ini sama-sama bercerita tentang putra raja yang terbuang, dan karena jalan takdirnya mereka kembali dipertemukan dengan ayahnya yang seorang raja, melalui momen praktik sabung ayam.
Tak kecuali sumber lain, sebutlah La Galigo di Bugis.
Tokoh utama epik itu, yaitu Sawerigading, juga diceritakan memiliki kegemaran sabung ayam.
Bahkan, naga-naganya dulu orang Bugis belum bisa disebut pemberani (tobarani) jikalau tidak memiliki kebiasaan menyabung ayam (massaung manu’).
BACA JUGA:Nenek Sebatang Kara Disantuni Satgas PAM Puter Enggano
BACA JUGA:Kepastian Skema Seleksi Panwascam Mendesak!
Barangkali juga bukan hanya Bugis, tetapi bagi masyarakat Jawa, Bali, Sunda, dan lainnya, ayam jantan dulu pernah memiliki asosiasi untuk melukiskan tentang citra keberanian atau kejantanan.
Jikalau folklore atau epik dari masa lalu bisa jadi salah satu sumber rujukan sejarah, maka bisa disimpulkan, secara historis simbolisme terhadap ayam menghadirkan pemaknaan yang sakral sebagai representasi simbolik tentang kekuatan.
Sakralitas makna sabung ayam ini setidaknya terlihat di Bali, misalnya.
Geertz saat melakukan penelitian etnografi di Bali mengungkapkan pentingnya taji.