Sabung Ayam, Antara Mitos dan Sejarah
Tarung ayam karya Affandi. -Lukisan Seni-
BACA JUGA:Safari ke Desa Padang Kala, Wabup ASA Diminta Tak Ragu Maju Bupati
BACA JUGA:Langkah Jitu Kendalikan Inflasi, Pemkab Mukomuko Gelar Pasar Murah
Konon, istilah ini mengacu pada permainan sabung ayam di Nusantara yang sangat digemari orang-orang Portugis.
Dari pelafalan inilah kemudian istilah ini diserap ke Nusantara dan masuk ke pelbagai bahasa seperti bahasa Melayu atau Jawa.
Namun tidak terlalu jelas, sejak kapan istilah jago jadi kata serapan. Pada kasus Banten, merujuk buku Sejarah Banten karya TBG.
Roesjan (1954), fenomena penyerapan kata jago ke dalam bahasa lokal tercatat telah muncul pada 1810.
BACA JUGA: Permintaan Domestik Topang Sektor Manufaktur Indonesia
BACA JUGA: 5 Komitmen Bersama Yang Dilahirkan Dalam Rembuk Stunting
Merujuk Anthony Reid dalam karyanya yang berjudul Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 Volume One: The Lands Below the Winds, fenomena sabung ayam ini, bersama pertarungan spektakuler lainnya seperti adu gajah atau harimau, lazim diselenggarakan untuk memeriahkan pesta-pesta kerajaan di kota-kota di Asia Tenggara.
Menurutnya, di masa lalu ayam menjadi salah satu hewan yang sering diadu sebagai simbol kemeriahan atau kebesaran wajah kekuasaan dari kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara.
Lebih jauh menurut Reid, setidaknya di Jawa pra-Islam dan hingga kini masih hidup di Bali, praktik sabung ayam tak semata bermakna ritus sosial, melainkan juga memiliki makna keagamaan dan menjadi bagian penting dalam pesta keramaian candi, penyucian, dan ziarah.
Darah ayam sabungan dipandang sebagai korban untuk menyenangkan dewa-dewa, demi kesuburan, demi upacara penyucian, dan untuk merayakan keberhasilan perang.
BACA JUGA:Pemprov Bengkulu Ajak Masyarakat Teladani Makna Nuzulul Qur'an
BACA JUGA: Tahun 2024, Pemprov Bengkulu Fokus Turunkan Stunting
Jejak-jejak Diskursus