Dibeberkan KPK, titik rawan itu diantaranya: mark up anggaran, perjalanan dinas dan honorarium;
Menjumput laporan ICW, yang menulis soal pemetaan potensi kecurangan Metode E-Purchasing.
Sekretaris Utama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Salusra Widya, menerangkanm, sistem pembayaran secara langsung atau e-purchasing merupakan salah satu usaha pemerintah dalam pencegahan penyimpangan dan korupsi dalam pengadaan barang/jasa.
BACA JUGA:MTQ Harus Menjadi Efek Kejut Ekonomi di Masyarakat
BACA JUGA:Tersangka Proyek Pengadilan Agama Segera Ditetapkan, Kajari: Tunggu Audit KN Keluar
Selain itu, metode ini juga dianggap dapat mempercepat proses pengadaan tanpa mengesampingkan akuntabilitas.
Di sisi lain, Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah juga diwajibkan menggunakan e-purchasing untuk barang/jasa yang menyangkut pemenuhan kebutuhan nasional dan/atau strategis yang ditetapkan oleh Menteri, Kepala Lembaga, atau Kepala Daerah.
Menilik paparan data dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, yang merujuk pada data profil pengadaan yang dikeluarkan LKPP, jumlah pengadaan barang/jasa yang menggunakan e-purchasing rata-rata 10% dari total pengadaan pemerintah.
Pada 2019 ada 347.557 paket dengan nilai transaksi Rp 69,2 Triliun. Kemudianpada 2020 ada 295.532 paket dengan nilai Rp 49,5 Triliun serta pada 2021 ada 228.207 paket dengan nilai transaksi sebesar Rp 49,7 Triliun.
BACA JUGA:Program Siska Untungkan Petani Dan Peternak
BACA JUGA:Pemda Ini Ringankan Beban Pemerintah Miliaran Rupiah, Kok Bisa?
Dengan semakin masifnya penggunaan e-purchasing dan belum adanya kajian yang secara khusus memetakan kecurangan e-purchasing.
ICW menilai penelitian ini menjadi relevan bagi pemerintah untuk membangun sistem atau kebijakan yang bisa mendeteksi kecurangan dalam e-purchasing. (*)