Mari meloncat masuk di era Revolusi Digital atau Industri 4.0.
Bicara mitos ayam, samar-samar masih tampak melekat kuat di benak masyarakat.
Selain di Bali dengan ritual tabuh rah-nya, di daerah lainnya perhelatan sabung ayam masih sering dilakukan dan cenderung hanyalah ekspresi hobi belaka.
BACA JUGA:Kepastian Skema Seleksi Panwascam Mendesak!
BACA JUGA:Safari ke Desa Padang Kala, Wabup ASA Diminta Tak Ragu Maju Bupati
Asosiasi hobi ayam sabung di Indonesia pun telah terbentuk. Mereka menamakan dirinya PAPAJI (Paguyuban Penggemar Ayam Jago Indonesia).
Sekalipun bersifat profan, asosiasi ini telah tegas menghilangkan aspek perjudian.
Mengambil format seperti perlombaan tinju, konsep adu ketangkasan ayam ini sengaja dibatasi waktu, ayam pemenang ditentukan oleh skor.
Untuk mengurangi resiko kematian, taji di kaki ayam jantan sengaja dibungkus.
BACA JUGA:UMKM, Yuk Ajukan Pembiayaan Usaha dari Pemerintah!
BACA JUGA: Permintaan Domestik Topang Sektor Manufaktur Indonesia
Bicara nilai komersial ayam jago yang malang melintang memenangkan lomba, jangan kaget jikalau nilainya mencapai ratusan juta.
Sayangnya bicara asal ayam sabung lazimnya bukanlah budidaya Indonesia.
Padahal sebenarnya Indonesia memiliki banyak populasi ayam hutan. Ada ayam hutan merah dan ayam hutan hijau.
Dari pelbagai varitas ayam hutan ini sebagai modalnya seharusnya bisa dikembangkan ayam aduan tipe unggulan.
Sementara di sisi lain, bicara ayam Indonesia memang memiliki sejarah yang sangat panjang.