Dari lapangan sejarah, merujuk esai Clifford Geertz disebutkan kata ‘sabung’ merupakan istilah untuk ayam jantan.
Dan, lebih jauh ia katakana, istilah telah muncul dalam inskripsi-inskripsi di Bali pada 922 M.
BACA JUGA: 5 Komitmen Bersama Yang Dilahirkan Dalam Rembuk Stunting
BACA JUGA:Pemprov Bengkulu Ajak Masyarakat Teladani Makna Nuzulul Qur'an
Istilah ini dipakai secara metaforis untuk mengartikan “pahlawan”, “serdadu”, “pemenang”, atau “orang kuat”.
Sayangnya Geertz tak menjelaskan dari sumber prasasti mana inskripsi itu.
Bicara latar sejarah sabung ayam, Ani Rachmat dan Agusmanon Yuniadi (2018) dalam artikelnya Simbolisme Ayam Jago dalam Pembangunan Kultural Masyarakat Kabupaten Cianjur, dan I Wayan Gede Saputra K.W (2016) dalam artikelnya Sabung Ayam Pada Masyarakat Bali Kuno Abad IX-XII, tiba pada kesimpulan yang sama.
Mirip Geertz, menurut mereka praktik sabung ayam di Bali telah berlangsung sejak abad 10.
BACA JUGA: Tahun 2024, Pemprov Bengkulu Fokus Turunkan Stunting
BACA JUGA: Kolaborasi Tekan Angka Stunting
Jika Rachmat dan Yuniadi merujuk Prasasti Sukawana dan Prasasti Batur Abang; Saputra merujuk Prasasti Trunyan dan Prasasti Sembiran.
Sayangnya lagi, bicara konteks lokalitas Bali, Geertz tidak memaparkan sejauh mana terdapat perbedaan makna antara sabung ayam dalam bentuk ‘tetajen’ dan ‘tabuh rah’.
Jelas, kedua ritus sabung ayam ini berbeda konteks dan makna.
Di satu sisi, tetajen ialah ritus sosial yang bersifat profan berupa perjudian, dan di sisi lain tabuh rah ialah ritus yang bersifat sakral dan keagamaan.
BACA JUGA:Korban Begal 1 Orang, Korban Lain Terluka Karena Jatuh Saat Mengejar Pelaku
BACA JUGA:Nenek Sebatang Kara Disantuni Satgas PAM Puter Enggano