Cerpen: Basuki Fitrianto
Kau datang malam itu dengan langkah yang lambat dan bau tanah basah di jaketmu. Aku membukakan pintu tanpa suara, seolah kita sedang sepakat untuk tidak membangunkan siapa pun di dunia ini, termasuk masa lalu.
“Kopi masih ada?”
“Ada,” jawabku.
“Masih hitam dan pahit seperti biasa?”
“Masih.”
Kau duduk di kursi yang sama, menghadap jendela yang sama, seperti lima tahun lalu sebelum kau pergi bersama perempuan yang tak pernah kusebut namanya. Di luar, lampu jalan menyala redup seperti mata orang yang tak yakin akan hidupnya.
Aku menyeduh kopi untukmu. Tubuhku bergerak dengan hafalan yang sudah usang tapi belum benar-benar hilang. Kita adalah dua orang yang pernah akrab dengan kebiasaan yang sama, lalu saling melupakan dengan perlahan tapi pasti. Sampai lupa rasanya marah.
“Sudah malam,” katamu.
Aku tak menjawab. Kau tahu itu.
Kau menatapku lama. Matamu masih seperti dulu—teduh, mengganggu. Ada semacam cahaya yang pelan-pelan bergerak di dalamnya, seperti kunang-kunang yang tersesat. Aku selalu membayangkan matamu itu seperti padang kecil yang sepi, tempat cahaya kecil berkedip-kedip tapi tak pernah benar-benar padam.
BACA JUGA:The Emerald Code
BACA JUGA:Tuangan Teh Terakhir
Aku menyodorkan cangkir kopi padamu.
“Masih suka begini?”
Kau tersenyum kecil. “Apa?”