“Datang tanpa aba-aba.”
“Masih. Tapi sekarang lebih jarang.”
Kita diam. Aku mendengar bunyi detik dari jam tua di dinding. Waktu tidak berjalan lebih cepat walau kita berusaha melupakannya. Waktu hanya menyimpan apa yang perlu disimpan, dan membiarkan sisanya membusuk di sela-sela pikiran.
“Kau baik-baik saja?” tanyamu.
Aku mengangguk. Tapi sebenarnya aku tak tahu. Ada hari-hari di mana aku merasa bisa menertawakan semua ini, dan ada hari-hari di mana aku mendadak membenci semua benda yang kau sentuh dulu. Gelas. Gorden. Lagu-lagu yang kau putar setiap malam minggu. Tapi semua itu tak membuatku lebih kuat. Aku hanya menjadi seseorang yang bisa tidur sambil menangis tanpa suara.
“Aku tidak menikah dengannya,” katamu tiba-tiba.
Aku menoleh.
“Kau ingin aku bilang apa?”
“Apa pun.”
“Selamat, mungkin?”
“Tapi aku bilang aku tidak menikah dengannya.”
“Lalu?”
BACA JUGA:DOTI LAMAIKA
BACA JUGA:'Alana: A Journey to Love', Novel Karya Mahasiswa Bengkulu
Kau menatap lantai. Ada pecahan cahaya lampu memantul di keramik. Aku melihat bayangan wajahmu di situ, remang dan rapuh.
“Aku ingin bilang aku menyesal,” katamu.