Seorang tukang pos berdiri di depan rumah, menyerahkan amplop cokelat tipis tanpa nama pengirim. Di dalamnya, ada selembar kertas berisi satu kalimat dengan tulisan tangan yang kukenal betul:
“Kalau kau masih bisa melihat cahaya itu di mataku, aku akan kembali.”
BACA JUGA:Jejak Cinta
BACA JUGA:MALING KONDANG
Tanpa tanda tangan. Tanpa tanggal.
Aku membaca kalimat itu berkali-kali. Kata “kalau” di awalnya seperti tali simpul yang belum diputus. Seperti harapan yang terlalu malu untuk disebut harapan.
Malamnya, aku duduk lagi di depan jendela. Sama seperti malam yang lalu, dan malam sebelum-sebelumnya. Tapi kali ini aku mematikan lampu. Aku ingin melihat apakah kunang-kunang itu masih ada di matamu, walaupun kau tidak sedang di sini.
Dan saat mataku mulai lelah, aku melihat satu cahaya kecil di luar jendela. Terbang pelan. Ragu-ragu. Aku membuka jendela. Udara dingin menyusup seperti kenangan buruk, tapi cahaya itu tetap ada. Kecil. Tenang.
“Apa kau melihatku?” bisikku.
Cahaya itu tak menjawab.
Seminggu kemudian, kau kembali. Kali ini membawa payung hitam dan wajah yang lebih letih dari sebelumnya. Rambutmu agak lebih panjang, dan aku bisa mencium bau hujan yang belum turun dari jaketmu.
“Kau masih menunggu?”
Aku mengangguk. Tapi tak sepenuhnya yakin untuk siapa aku menunggu.
Kau duduk, menatap jendela.
“Aku bermimpi tentangmu,” katamu.
“Aku juga,” jawabku.