Aku menarik napas pelan. Kata itu datang terlambat, seperti hujan yang turun saat jas hujan sudah dibuang. Tapi tetap saja basah. Tetap saja dingin.
“Kau tahu,” ujarku, “kunang-kunang itu makhluk yang aneh. Mereka bercahaya, tapi rapuh. Mereka muncul di malam hari, tapi tak pernah mau benar-benar dekat dengan gelap.”
Kau tersenyum. Senyum yang penuh beban, seperti kau sedang menyimpan sesuatu di balik punggungmu dan tak berniat menunjukkannya.
“Maksudmu aku?” tanyamu.
“Mungkin. Mungkin aku juga.”
“Atau mungkin kita hanya cahaya yang keliru.”
“Atau kita cahaya yang terlambat.”
Kopi di tanganmu mengepul pelan. Di luar, malam turun sepenuhnya. Tak ada bintang. Tak ada angin. Hanya sunyi yang duduk di antara kita, menatap dari balik jendela.
BACA JUGA:Kami Tunggu Ibu di Api
BACA JUGA:Kopi Pahit di New York
“Kau akan pergi lagi?” tanyaku.
Kau tidak menjawab. Tapi aku tahu jawabannya. Sama seperti aku tahu bahwa esok pagi kau akan jadi bayangan saja. Seperti sebelumnya.
Kau tak menginap malam itu. Tapi jejak langkahmu tinggal lama di lantai ruang tamu, seperti suara yang tak bisa dilupakan. Aku tidur larut, dan dalam tidurku, aku bermimpi tentang kunang-kunang. Mereka beterbangan di dalam kamar, berkerlap-kerlip seperti kenangan yang tak pernah selesai.
Pagi datang dengan lambat, membawa embun dan sunyi yang terasa lebih nyata. Tak ada bekas kopi di meja. Cangkirnya kosong, tapi hangatnya masih tersisa. Aku memandang ke luar jendela. Jalan kecil itu lengang. Daun-daun berguguran seperti sesuatu yang sengaja dibiarkan jatuh.
Aku mencoba menulis pagi itu, seperti biasa. Tapi jariku tak bergerak di atas keyboard. Kalimat yang kupaksa keluar hanya berhenti di kata “kau”. Selebihnya seperti air yang enggan mengalir.
Ada suara ketukan pelan di pintu. Bukan kau. Aku tahu langkahmu.