Dispensasi Nikah Rawan jadi Penyelamat Pelaku Amoral
Aktivis Perempuan dan Anak, Julisti Anwar,SH.-Radar Utara/ Benny Siswanto-
Namun, karena alasan tertentu mesti dilangsungkan pernikahannya. Untuk dicatat sebagai perkawinan negara, wajib mendapatkan persetujuan pengadilan agama.
"Mungkin persoalan semacam ini tidak populer. Padahal ini sangatlah prinsip. Dari sudut pandang yuridis formal, tentu bukan sebuah pelanggaran. Tapi, dari sudut pandang norma sosial, ini menandakan adanya situasi yang perlu dibenahi di tataran sosial," ungkapnya.
BACA JUGA:Pernikahan Warga Non Muslim di KUA Tunggu Juknis
BACA JUGA:Kemenag Mukomuko Giatkan Program Brus Cegah Pernikahan Dini
Untuk diketahui, Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang berlaku 15 Oktober 2019 yang merupakan hasil revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menegasi umur minimal pasangan kawin baik laki-laki dan perempuan adalah berumur 19 tahun.
Pasangan nikah baik kedua-duanya atau salah satunya yang belum memasuki usia kawin, namun akan dinikahkan secara resmi dan dicatat dalam peristiwa perkawinan negara, harus melalui mekanisme putusan pengadilan agama atas permohonan dispensasi kawin.
Data dari PA Kelas IB Arga Makmur, menerangkan dispensasi kawin yang diterima tahun 2022 sebanyak 140 perkara. Tahun 2023 diterima 149 perkara.
Sektor hulu atau penyebab persoalan sosial inilah yang perlu dikaji. Kasuistiknya, nyaris sama dengan kasus-kasus asusila. Termasuk juga perceraian.
BACA JUGA:Catat Pernikahan Warga Non Muslim, KUA Tunggu Petunjuk Teknis
BACA JUGA:Cegah Pernikahan Dini Giatkan Program Brus
Sebagai aktivis perlindungan perempuan yang muncul tidak ujug-ujug, Julisti mensiyalir adanya otak kotor pelaku asusila memanfaatkan fasilitas negara ini, demi menghindari ancaman berat atas kelakuan jahatnya.
Apalagi, terus dia, sepanjang dirinya mendampingi kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak sebagai korbannya, baik secara prodeo atau pun probono, Julisti mendapatkan "hipotesa" bahwa strata sosial hingga keterbelakangan mental, turut mempengaruhi kasus asusila atau amoral yang dinilainya merupakan fenomena gunung es.
Dimana, terus dia serius, apa yang kentara atau terungkap di publik, jauh lebih kecil dari pada hal atau kasus-kasus lainnya yang belum terungkap.
"Karenanya, kami terus menyeru tentang perlunya bahkan mendesaknya, penanganan di sektor hulu. Pemerintah tidak cukup, bergerak dan memberikan tindakan atau pendampingan, pada pascakejadian. Itu pun yang telah terdeteksi atau pun terungkap publik. Tidak cukup," jelasnya.