Aila, Mama dan Bunga Matahari
ILUSTRASI-pinterest.com-
BACA JUGA:Kementerian Investasi - Kemendagri Perpanjang Kerja Sama Akses Pemanfaatan Data Kependudukan
Gita mendesah pelan. Bagaimana cara dia masuk? Tidak mungkin juga Aila mau membukakan pintu. Ah, dia coba dulu deh.
Tok tok tok
“Aila?”
Tak ada jawaban.
“Aila? Mama boleh masuk?” Gita kembali bertanya, namun lagi lagi tak ada jawaban.
“Aila, maafin Mama. Mama cuma gak mau penyakit Mama bikin kamu gak fokus belajar. Kamu bilang mau kuliah di UGM, artinya nilai kamu harus bagus.”
BACA JUGA:Uang Beredar Tumbuh Lebih Tinggi pada Maret 2024
BACA JUGA:Maju Pilgub, Eks Bupati dan Bupati BS Daftar ke PDI Perjuangan
Aila yang mendengar dari dalam kamar hanya mendesah kecewa. Kenapa sang Mama lebih memprioritaskan nilai Aila dibanding kondisi kesehatannya sendiri?
“Kalau kamu gak mau bukain pintu gak apa apa. Mama taruh makan malam kamu disini, ya. Dimakan. Jangan sampai maagmu kambuh.”
Aila mengangguk meski sang Mama tak bisa melihat anggukannya. Ia tak berani melihat Mamanya. Bukan karena rasa kecewanya. Melainkan, Aila takut menangis jika melihat kondisi sang Mama. Memprihatinkan.
Gita berbalik. Ia pergi ke kebunnya. Lalu kembali dengan bunga Matahari yang di potnya terdapat gulungan kertas.
BACA JUGA:Aksi Serentak Perangi Demam Berdarah Dengan PSN
BACA JUGA:Dirajut Ibu Negara di Bengkulu, Ditargetkan Berkibar di IKN