Oleh Faris Al Faisal
TERMINAL 59, di kota yang tiba-tiba menjadi mati karena pandemi. Lelaki itu terduduk. Lelaki penguasa pangkalan bus yang terkenal sangar dan ditakuti preman-preman serta sopir-sopir itu menderita demam tinggi, batuk-batuk, dan dari lubang hidungnya meleleh air.
Ia memang sakit. Terhitung sudah empat hari ini. Namun, ia tetap memaksakan diri untuk mangkal di wilayah kekuasaan yang dibuatnya sendiri.
Tentu saja. Lelaki itu tidak ingin wibawanya melorot hanya karena kelihatan lemah menghadapi sakitnya. Toh, hanya sakit yang kelihatan ringan.
Cukup minum obat yang dijual di kantin terminal dan sesudahnya ia sembuh. Itu pun ia tak perlu mengeluarkan serupiah pun dari koceknya. Tinggal minta dan semuanya selesai.
BACA JUGA:PEREMPUAN YANG MENJUAL DIRINYA PADA JARAK
BACA JUGA:Anak Sekolah Dasar yang Mati Tak Berdasar
Bandingkan dengan upayanya ketika dulu menguasai Terminal 59, berdarah-darah dan penuh kekerasan. Ia harus adu bacot, otot, nyali, dan bahkan adu kekuatan dengan berkelahi.
Perkelahian memperebutkan lapak itu pernah membuatnya dikeroyok oleh preman-preman yang lebih dulu menguasai terminal itu. Mereka tidak terima ada pesaing baru.
Buk, buk, buk! Terminal 59 mendadak gaduh dan terdengar aduh. Para sopir, penumpang, dan orang-orang yang ada dan melihat keributan itu segera mendekat.
Tanpa aba-aba dan isyarat, mereka melingkar. Tampak di antaranya petugas dan satpam terminal yang seakan membiarkannya tanpa berusaha melerainya. Entah kenapa bisa begitu? Kejadian seperti itu memang kerap sering terjadi. Mungkin itu salah satu sebabnya mereka bersikap demikian.
BACA JUGA:Love or Ghosting
BACA JUGA:ULAR BERWUJUD MANUSIA
Orang-orang di Terminal 59 berharap, lelaki yang dikeroyok itu akan dapat mengalahkan preman-preman itu. Mereka sudah muak dengan perilaku buruknya yang suka memeras penumpang dan penjual di terminal. Namun sepertinya, kecil kemungkinan itu.
Pukul! Pukul! Pukul terus! teriak preman-preman itu kompak.