Mbah seperti halnya warga setempat, menganggap ibunya Dinar adalah seorang perempuan tak baik. Tapi aku melihat dia adalah seorang ibu yang baik, dan juga seorang perempuan yang menjalani hidup dengan caranya sendiri. Bukankah karena perkataan ibunya Dinar kala itu membuatku melepaskan kemelekatan pada rindu akan kasih ibu?
Lalu, apakah aku juga telah melepaskan kemelekatan akan rindu pada seorang kekasih hati? Selama ini aku digiring untuk percaya bahwa tidak ada laki-laki yang baik, yang setia, yang sempurna.
Mbah yang mengasuhku hanya akan menyerahkan pada doa yang terbawa angin malam. Lalu ibunya Dinar pada sumpah serapahnya pada laki-laki. Belakangan malah dia dengan girangnya seolah menenteng piala kemenangan atas pertarungan dengan para lelaki yang bisa ditaklukannya.
Tanggal satu suro sudah tiga minggu berlalu. Tepat dua puluh tahun mbah berpulang; membawa serta segumpal harapan semu.
BACA JUGA:DEBAT ORANG-ORANG BISU
BACA JUGA:POHON JAMBU WARISAN SI MBAH
Lamat-lamat kembali kudengar tembang nina bobo itu: tak lelo…lelo…lelo ledung…
Ah… rindu.
Malam telah larut.
“Belum tidur, Senja?” Suara berat nan hangat kekasih hatiku.
“Belum, Rindu.”
Rindu memelukku. Hangat.
BACA JUGA:Bukan Dia, Romeomu
BACA JUGA:Menggores Aksara Di Pusara Rumah Ayah
Biodata Penulis
Dhama Dove