Cerpen: Dhama Dove
“Tak lelo..lelo..lelo ledung….” Suara lirih hangat terngiang jelas di pelupuk mata. Selalu saja lagu itu yang dinyanyikan menjelang tidurku.
Tak bosan-bosannya. Seingatku, mbah yang selalu menemani tidurku. Tak terekam dalam ingatanku kapan ibuku meninabobokanku.
Ketika masih usia Sekolah Dasar, aku sering menanyakan perihal ibuku. Jawaban mbah selalu saja sama; ibu sedang bekerja mencari nafkah ke luar negeri, mencari uang agar aku bisa sekolah.
“Mbah, aku ingin punya ibu seperti ibunya Dinar. Cantik dan sayang sama Dinar. Dinar selalu dibelikan mainan, boneka-boneka cantik, mainan masak-masakan, sepatu sandal tali.”
BACA JUGA:Anak Sekolah Dasar yang Mati Tak Berdasar
BACA JUGA:Love or Ghosting
“Wes to…tidurlah.” Hanya itu yang selalu dia katakan setiap kali aku memuji ibunya Dinar. Mungkin dia tidak ingin aku menanyakan lebih lanjut kapan ibuku pulang.
Atau barangkali mbah telah kehabisan kata-kata untuk berbohong. Atau, bisa jadi mbah tak ingin aku membandingkan anaknya dengan orang lain. Entahlah.
“Mbah, kenapa ibu nggak kerja seperti ibunya Dinar saja? Biar bisa pulang setiap hati. Biar bisa menyisir rambutku. Biar…”
“Sst… “ Lalu mbah akan memejamkan mata, berharap aku percaya kalau dia tertidur. Belakangan baru kutahu kalau pekerjaan ibunya Dinar adalah sebagai wanita penghibur. Mana kutahu? Yang kutahu adalah dia selalu berdandan cantik, selalu mengepang rambut Dinar, membelikan mainan yang bagus-bagus.
Rasanya aku lebih baik tidak sekolah ketimbang tak juga bertemu ibu.
BACA JUGA:ULAR BERWUJUD MANUSIA
BACA JUGA:JODOHMU ADALAH SIAPA DIRIMU
Lebaran demi lebaran telah kulalui tanpa ibu. Surat menyurat hanya antara mbah dan ibu. Sesekali mbah memperlihatkan lembaran surat yang menyuguhkan kata-kata betapa rindu ibu denganku.