RADARUTARA.BACAKORAN.CO - Idul Fitri mestinya menjadi ajang introspeksi atau bermuhasabah diri.
Salah kaprah memaknai "lebaran" yang dapat dimaknai lebar atau habis, harus dibarengi dengan perluasan makna yang lebih sakral dan mendasar.
Kesalahkaprahan memaknai lebaran secara sempit yang kemudian menjadi "warisan" sosial, minimal kepada anak keturunan.
Akan menggerus esensi dari Idul Fitri yang sejatinya merupakan momentum syukur dengan peningkatan ketaatan kepada Allah SWT.
BACA JUGA:Jangan Lewatkan! Ini 7 Manfaat Puasa Syawal Bagi Kesehatan
BACA JUGA:Wisata Alam Selama Libur Lebaran, Kepala Siring Kemumu Mulai Ramai Pengunjung
Fakta, menjelang lebaran kemudian sekelompok atau personal, memilih menumpuk utang, hanya agar ingin menggunakan sandangan anyar, merupakan satu hal yang salah kaprah.
Belum lagi, pemaksanaan situasi lantaran ingin membuat ragam macam panganan untuk hari lebaran, menjadi fakta yang tak bisa ditepis di masyarakat.
Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Bengkulu Utara (BU), Dr H Nopian Gustari, menjelaskan esensi dari Idul Fitri adalah meningkatkan rasa syukur kepada Allah SWT.
Rasa syukur atas telah menjalani perintah Allah SWT kepada setiap muslim yang bertaqwa untuk berpuasa sebulan lamanya.
BACA JUGA:Banyak Yang Belum Tau! Berikut 9 khasiat dan Manfaat Dari Bunga Pepaya
BACA JUGA:Tak Lagi Anggarkan Untuk DDTS, Edwar: Tangani Drainase dan Jembatan di Pasar Ujung Kepahiang
Tapi Nopian tak menepis, adanya kesalahkprahan dalam memaknai rasa syukur itu yang cenderung melakukan hal-hal yang berlebihan. Bahkan, dipaksakan.
"Padahal dalam Islam, memaksakan sesuatu hal adalah tidak dibenarkan. Bahkan melakukan hal-hal yang berlebihan juga demikian tidak dianjurkan," ujarnya.
"Islam mengajarkan kemaslahatan dan kesederhanaan," ujarnya lagi menegasi.