Desain Antikolonial
Oleh Yuke Ardhiati dalam buku Bung Karno Sang Arsitek disebutkan bahwa Bung Karno memiliki konsistensi padu padan gaya antikolonial dan mengedepankan konsep Indonesia.
BACA JUGA:Ramadhan dan Idul Fitri, Kuota BBM Cukup
BACA JUGA: Industri Animasi Berpotensi Melesat
Itu memengaruhi model arsitektur karyanya pada periode 1926-1945.
Saat itu, Bung Karno tak banyak mengubah struktur bangunan.
Namun lebih menegaskan paduan nuansa Jawa dan Sumatra pada desain masjid itu.
Bung Karno mempertahankan sebagian struktur bangunan dan hanya mengubah bagian atap, tiang masjid, dan menaikkan tinggi lantai hingga 30 sentimeter, serta dinding ditinggikan lagi 2 meter.
Bagian atap diganti berbahan seng dan dibentuk bermodel mansard atau atap tinggi bersisi empat miring curam dengan sedikit tekukan pada bagian bawah.
BACA JUGA:Mau Aki Motor Tetap Awet dan Tidak Cepat Soak? Ikuti 9 Langkah Ini...
BACA JUGA:BREAKING NEWS! Jalan Provinsi di Teras Terunjam Mulai Terendam Banjir
Atapnya dibuat bersusun atau bertumpuk tiga melambangkan iman, Islam, dan ihsan.
Ada filosofi khusus mengapa bagian atap dan plafon dibuat tinggi seolah-seolah ingin mencakar langit karena melambangkan ketaatan kepada Tuhan.
Ada ornamen tambahan yaitu hiasan kemuncak atau menyerupai gada pada puncak atap. Konon, Sukarno terinspirasi oleh senjata gada milik tokoh pewayangan favoritnya yakni Bima.
Masjid Jamik Bengkulu mempunyai tiga bangunan yang saling menyatu, yakni inti masjid, serambi, dan bangunan tempat wudhu.
Pada inti masjid yang menjadi ruang utama salat ukurannya sebesar 14,65 meter x 14,65 meter dan terdapat tiga pintu masuk yang dibatasi oleh tiga pilar setinggi sekitar 2,5 meter.