RADARUTARA.BACAKORAN.CO - Mengerek harga gabah petani, salah satunya dapat dilakukan dengan skenario menciptakan iklim kompetisi pembelian.
Selain, menanti keberanian pemerintah dalam menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang lebih responsif, tidak kaku, sehingga kehadiran negara dalam menghadirkan asa bagi petani dalam negeri bisa benar-benar dirasakan.
Pegiat sektor pertanian yang juga Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Bengkulu Utara, Ir H Supriyanto, menilai, selain rasionalisasi HPP yang menjadi domain pemerintah, perlu juga dilakukan skenario kompetisi pada ruang-ruang dagang.
Menurut Supriyanto, keberadaan pabrik-pabrik pengolahan gabah menjadi beras, seperti yang sudah ada di Kabupaten Mukomuko, memungkinkan menjadi objek direktif pemerintah untuk membangun sistem tata kelola bisnis di sektor pangan utama ini.
BACA JUGA: Masuki Masa Panen Raya, Harga Gabah Kering Panen Mulai Stabil
BACA JUGA: Musim Kemarau, Harga Gabah Naik Tapi Panen Merosot
"Pabrik pengolahan beras di daerah, perlu ditambah. Mirip-mirip pabrik Crude Palm Oil atau CPO. Maka bisa kita lihat bersama, iklim pasarnya lebih dinamis dan kompetitif," Supriyanto dalam analisanya, menyikapi keberpihakan pasar yang belum dirasakan petani, Minggu, 6 Oktober 2024.
Dia juga menyoroti soal gebrakan awalan pemerintahan Prabowo-Gibran, lewat Quick Win yang salah satunya adalah di sektor pertanian pangan.
Selain keberadaan lahan baku, lanjut dia, langkah yang tak penting di sektor pertanian adalah peningkatan kapasitas petani sampai dengan sektor non infrastrukturnya yakni penyuluh pertanian dan program-program pertanian lainnya, mulai dari kementerian hingga daerah.
"Karena persoalan di atas, saling berkaitan. Kelindan persoalan itu muncul, pasti di sektor hulu ke hilir," ujarnya.
BACA JUGA: Masuki Masa Panen Raya, Harga Gabah Kering Panen Mulai Stabil
BACA JUGA: Musim Kemarau, Harga Gabah Naik Tapi Panen Merosot
Pemikiran perlunya manajemen pasar khusus di sektor pertanian pangan utama di Indonesia, seperti halnya beras hingga sagu untuk saudara-saudara kita di Indonesia Timur, kata dia, ketika mampu dilakukan oleh rezim dengan segala program-program pangannya, akan ditilik outputnya dari sisi keandalan produksi pangan dalam negeri.
"Ketika anatomi ekspor masih seperti saat ini, maka sudah bisa menjadi hipotesa awal adalah persoalan kembali terjadi. Persoalannya adalah persoalan lama. Bedanya, terjadi pada rezim yang baru," terang Supri menyoroti kran impor yang terus terjadi di Indonesia.
Sebagai wilayah agraris, Supri mengaku cukup mengelus dada, ketika penyelenggaraan program di sektor pertanian pangan, masih belum mampu mengembalikan masa keemasan Indonesia yang sudah begitu lama, pernah merengkuh prestasi apik dengan swasembada beras.