Banner Dempo - kenedi

Permohonan Helmi-Mian ke MK, Bentuk Nafsu Besar Jadi Calon Tunggal

Syaiful Anwar, SH, MH-Radar Utara/Doni Aftarizal-

BENGKULU RU - Permohonan pengujian materi yang disampaikan Bakal Pasangan Calon (Bapaslon) Helmi Hasan-Mian ke Mahkamah Konstitusi (MK), dinilai sebuah bentuk nafsu besar ingin menjadi calon tunggal dalam Pilgub Bengkulu Tahun 2024.

Penilaian tersebut bukanlah tanpa dasar, karena sebelumnya pasangan ini juga telah melakukan upaya borong Partai Politik (Parpol) sebagai prasarat maju dalam Pilgub.

"Pengujian materi Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 Pasal 162 ayat (1) dan (2), tidak berlandaskan dasar konstitusional pengaturan untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)," ungkap Syaiful Anwar, SH, MH yang berprofesi sebagia lawyer, Senin 16 September 2024.

Sebagaimana, lanjut Syaiful, yang termaktub dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Dimana pasal ini menyatakan Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.

BACA JUGA:APDESI dan ADESI Curhat, Helmi-Mi'an Pastikan Bantu Rakyat

BACA JUGA:Dewi Coryati: Kita All Out Menangkan Helmi-Mi'an

"Jadi saya menekankan pentingnya untuk mencermati kembali kata demokratis dalam pasal a quo," kata Syaiful.

Menurut Syaiful, melalui pemahaman terhadap kata demokratis, sesungguhnya tidak ada kewajiban untuk menggunakan satu model tertentu dalam Pilkada. Karena yang terpenting kepala daerah yang terpilih, merupakan representasi suara rakyat di daerah.  

"Dengan demikian, sepanjang Rohidin Mersyah-Meriani dipilih dan dikehandaki masyarakat Bengkulu, maka itulah makna demokrasi yang sesunguhnya," tegas Syaiful.

Syaiful menambahkan, berkenaan dengan norma a quo yang dimohonkan pengujian, MK tidak perlu menafsirkan lagi mengenai norma yang di mohonkan, 

BACA JUGA:Laporan ke MK dan DKPP Segera Bersidang, Muspani: Demi Tegaknya Konstitusi

BACA JUGA:Helmi-Mi'an Resmi Diusung Parpol Presiden RI Terpilih

"Maka dari itu norma a quo tidak dapat begitu saja dinilai bertentangan dengan konstitusi. Saya memandang dalil pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan domain pembentuk undang-undang," sindir Syaiful.

Lebih lanjut Syaiful mengemukakan, Ia juga menilai para pemohon seharusnya sadar telah mengetahui bahwa pasal 162 ayat (1) dan (2) a quo, telah berlaku sejak tahun 2016.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan