Pilkada, Petahana Lawan Kolom Kosong
Penyambutan bakal calon Bupati dan Wakil Bupati, Arie S Adinata dengan Sumarno, saat pendaftaran di Kantor KPUD yang disambut Sekretaris KPU Bengkulu Utara, Syamsul Bahri-Radar Utara/Benny Siswanto-
Saking seriusnya, Bawaslu memandang penyelenggaran Pilkada dengan calon tunggal yang notabene tidak menempatkan kolom kosong sebagai obyek fasilitasi penyelenggaraan, mesti disikapi dengan langkah kontijensi yang komprehensif.
"Karena nanti tidak ada sosialisasi bagi kolom kosong. Maka sosialisasi yang perlu digeber oleh KPUD adalah memasifkan pesan pentingnya menentukan pilihannya di TPS pada 27 November mendatang," ungkapnya.
Lebih jauh, Bawaslu tetap berpandangan, angka partisipasi pemilih dalam pesta demokrasi akan menjadi tolok ukur suksesi elektoral.
BACA JUGA:Sekda Ingatkan ASN Tidak Terlibat Politik Praktis Pilkada 2024
BACA JUGA:Petahana di Pilkada Wajib Cuti di Luar Tanggungan Negara
"Semakin tinggi angka partisipasinya, maka semakin baik proses demokrasi berjalan. Karena satu suara menentukan dan partisipasi pemilih menjadi sangat penting," tegasnya lagi.
Peta Politik Pilkada Berubah
Sempat tercatat, jumlah Pilkada dengan pasangan calon tunggal di Indonesia sebanyak 48 daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK Nomor 60 yang menurunkan syarat ambang batas suara minimal partai politik atau gabungan partai politik, menyebabkan jumlah calon tunggal pun menurun.
Kini Pilkada dengan calon tunggal di Indonesia yang ditandai dengan gaya lawas yakni aksi borong partai, menjadi 43 daerah.
Meski secara persentase angkanya menurun, lantaran Pilkada serentak 2024 dihelat oleh seluruh daerah, tidak seperti 2019 lalu.
BACA JUGA:FORKOPIMDA Bengkulu Ajak Ciptakan Pilkada Damai, Aman dan Tertib
BACA JUGA:Gong Waktu Menuju Pilkada Calon Tunggal
Namun secara angka, jumlah pilkada dengan calon tunggal justru kian melonjak. Kalau pada 2019 lalu sebanyak 28 daerah, kini menjadi 43 daerah.
Pengamat Hukum Tata Negara, Mahfud MD, bilang kondisi tersebut tidak lepas dari imbas adanya putusan MK. Jauh sebelum itu, skenario Pilkada, terus dia, adalah disetting dengan skema calon tunggal atau calon boneka.
"Tapi ini menjadi bagian dari sejarah demokrasi di Indonesia yang mengalami dinamika, pasang surut demokrasi dan perlunya penataan di sektor hukum terkait pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah," pungkasnya.