Menjaga Keabadian Air Petirtaan Jolotundo

Petirtaan Jolotundo, Trowulan, Mojokerto, Indonesia (Indonesia.go.id)--

Petirtaan dalam bahasa Jawa kuno disebut sebagai patirtan atau tempat berkumpulnya air dan merupakan lokasi istimewa bagi raja tempo dulu.

Seperti dikutip dari buku Patirtaan Jalatunda karya guru besar arkeologi Universitas Leiden, Belanda, Frederik David Kan Bosch pada 1965, semua berawal dari keinginan Raja Udayana untuk membangun sebuah tempat pemandian khusus di lereng Pawitra.

Ini sebagai bentuk syukur atas kelahiran Airlangga, buah hati dari pernikahan Udayana dengan Mahendradatta atau dikenal pula sebagai Putri Gunapriya Dharmapatni.

BACA JUGA:Mengembalikan Kejayaan Rotan Indonesia

BACA JUGA:Masyarakat Bengkulu Diajak Dukung Nabila Putri Bintadytama

Tempat itu ia namai Jolotundo. Jolo berarti air dan tundo adalah bertingkat yang bermakna pemandian air bertingkat atau berundak seperti terlihat sekarang ini. Pada pahatan di salah satu undakan tertera aksara tiga angka Jawa kuno bertuliskan 899 dalam tarikh Saka atau 977 Masehi.

Bosch meyakini itu sebagai tahun berdirinya Jolotundo atau sekitar 1.046 tahun lampau. Ini sama seperti periode ditemukannya kembang api oleh dinasti di Tiongkok dan dipakai sebagai bahan peledak pertama kali di dunia. Pada dinding-dinding Jolotundo ini diukir relief cerita Mahabharata dan kelahiran Udayana berdasar kisah Kathasaritsagara, dari kitab pertama Mahabharata. Selama ratusan tahun setelahnya, petirtaan ini ditinggalkan pengikutnya.

Surveyor Hindia Belanda Johannes Willem Bartholomeus Wardenaar menemukan kembali pemandian tersebut pada 1815 saat penjelajahan belantara Jatim atas perintah Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Saat ditemukan, kondisinya berantakan dan tertutup semak belukar. Terdapat hiasan batu andesit berbentuk oval menyerupai bunga teratai atau padma pada bagian utama yakni di dinding sebelah timur.

Batu-batu andesit yang dihaluskan ini memiliki lubang tempat mengucurnya air. Ada 16 lubang pancur di tingkat terbawah dan 14 lubang pancur di undakan berikutnya. Air bersih tampak mengalir deras dari lubang-lubang pancur tadi dan jatuh ke kolam di bawahnya.  Pada masanya, Petirtaan Jolotundo juga menjadi lokasi semedi favorit raja-raja Kerajaan Majapahit yang berkuasa di tanah Mojokerto antara abad 13 sampai abad 15.

BACA JUGA:DBD Mengganas, 55 Warga di Mukomuko Dinyatakan Positif

BACA JUGA:Datangi Sekolah, Dinas Pendidikan Sosialisasi Tentang Kebencanaan

Konsep Mutakhir

Arkeolog Universitas Negeri Malang M Dwi Cahyono menyakini, pemandian tersebut telah ada jauh sebelum Udayana, atau ketika Kerajaan Medang berkuasa di periode Mataram kuno dari Wangsa Isyana di Jatim. Ia menyebut, awalnya petirtaan itu berwujud empat undakan atau tingkat dan hanya tersisa dua tingkat. Hal itu ia ungkapkan dalam sebuah siniar daring terkait Jolotundo di platform media sosial Youtube.

Pada tingkat kedua ada sebuah bidang datar mirip altar yang semula menjadi tempat berdirinya arca Raja Airlangga berwujud Dewa Wisnu menunggang garuda. Arca tersebut saat ini tersimpan di Museum Trowulan. Kemudian, di kedua sisi undakan pancuran ada dua bilik, sisi kiri ada tempat khusus perempuan dengan penanda air memancur dari mulut arca naga. Selanjutnya sisi kanan untuk pria terdapat pancuran air mulut arca garuda.

Dwi Cahyono menilai, arca naga melambangkan feminisme dan garuda mewakili maskulitas. Petirtaan Jolotundo dibangun dengan konsep mutakhir di eranya. Yaitu mengalirkan mata air lereng Penanggungan melewati terowongan bawah tanah dan menembus ke kawasan petirtaan. Bukan itu saja, air ini kembali dialirkan melewati drainase bawah tanah menuruni perbukitan Petirtaan Jolotundo menuju kawasan permukiman sebagai air bersih dan sumber pengairan irigasi sawah warga.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan