“Kamu kenapa sih Ci?” tanya Samudra heran.
“Plis deh Sam, kamu pasti paham maksud aku,” Citra mencoba sekuat tenaga menahan rasa sesak di dada. Merapalkan matra dalam hati “jangan nangis, jangan nangis” ini di tempat umum. Tidak lucu jika ada yang tahu drama ini, terlebih lagi rekan KKN.
BACA JUGA:DEBAT ORANG-ORANG BISU
BACA JUGA:POHON JAMBU WARISAN SI MBAH
“Aku bingung sama sikap kamu Sam, kamu tiba-tiba baik. Kamu tiba-tiba perhatian. Kamu beneran suka aku atau memang hanya modus belaka? Kita tinggal satu atap, memang hatiku nggak galau? Setiap hari makan pun berbarengan sama kamu, apa namanya Sam?” jelas Citra.
“Ci,”
“Aku nggak peduli Sam, usai aku bilang seperti ini, terserah kamu bakal menjauh atau bagaimana? Yang jelas aku sudah nggak bisa menyembunyikan perasaanku.
Kamu jalan sama anak pak lurah tanpa peduli denganku, tapi di basecamp kamu begitu perhatian sama aku, tapi lucu ya kalau aku bilang cemburu, punya hak apa aku?” suara Citra terdengar dramatis.
“Ci, dengerin aku,” Samudra menenangkan.
BACA JUGA:Bukan Dia, Romeomu
BACA JUGA:Menggores Aksara Di Pusara Rumah Ayah
“Yang kamu rasakan saat ini, aku juga merasakan Ci, aku bukannya nggak peka, tapi aku berusaha untuk membatasi saja, agar tak bertambah jauh saling menyakiti?” jelas Samudra.
“Sebenarnya perasaan kamu ke aku itu bagaimana sih Sam? Maaf banget kalau pertanyaanku bikin nggak nyaman,” jelas Citra.
Samudra terdiam, matanya semakin dalam menatap Citra, semakin ia berusaha bersikap biasa, namun semakin iba dengan perasaannya.
“Dari sekian banyak mahasiswa di kampus, kenapa harus kamu sih Sam yang satu kelompok denganku,” ucap Citra, “lucu ya, takdir sedang mempermainkan kita”.
“Maaf,” hanya itu yang keluar dari bibir Samudra.