"Untuk cerai gugat adalah 359 perkara. Cerai talak 125 perkara. Kalau membanding tahun sebelumnya dengan periode yang sama, masing-masing 389 perkara dan 116 perkara," jabarnya, atas laju perkara selama 8 bulan dengan tahun yang berbeda.
Disinggung musabab perceraian? secara umum, pilihan mengakhiri bahtera rumah tangga itu disebabkan pertengkaran yang terus menerus. Pemicunya? lanjut Fatkul, didominasi persoalan ekonomi.
Meski begitu, ada juga perselingkuhan sampai dengan "cawe-cawe" pihak ketiga yakni orang tua yang turut campur terlalu jauh, dalam rumah tangga anak-anaknya. Ada juga soal dugaan kekerasan dalam rumah tangga.
"Tapi secara umum, dalil gugatan cerai didominasi alasan ekonomi," ungkapnya.
BACA JUGA:Pernikahan Warga Non Muslim di KUA Tunggu Juknis
BACA JUGA:Kemenag Mukomuko Giatkan Program Brus Cegah Pernikahan Dini
Dalam obrolan lebih kurang 30 menit itu, ditegasi Fatkul, soal adanya kesalahan paradigma di masyarakat tentang keberadaan Pengadilan Agama. Dimana, terus dia, PA, acap dianggap sebagai "lembaga pencerai".
Padahal, terus dia lagi, setiap hakim ketika disumpah, salah satu fungsinya adalah mengupayakan tidak terjadinya perceraian. Namun, bukan dimaknai melarang perceraian. Karenanya, terus dia, sebagaimana perceraian statusnya merupakan perkara perdata, maka jalur nonlitigasi selalu mendahului berlanjutnya proses litigasi.
"Makanya ada yang namanya proses mediasi," ungkapnya.
Konkret dari upaya tersebut, terus dia, tingkat keberhasilan mediasi yang telah dilaksanakan pihaknya, tahun ini rasio keberhasilannya mencapai 74 persen dari total 73 perkara yang dimediasi. Sedangkan untuk 2022 lalu, tingkat keberhasilannya 25 persen dengan jumlah 105 perkara.
BACA JUGA:Catat Pernikahan Warga Non Muslim, KUA Tunggu Petunjuk Teknis
BACA JUGA:Cegah Pernikahan Dini Giatkan Program Brus
"Dari sisi Banding, juga menurun. Dapat diartikan, hasil putusan PA juga memuaskan," pungkasnya. (*)