Tak disangkal Slamet soal ini. Pangkal persoalannya, kata dia, dilema tahunan yang dialami petani di desanya adalah pasokan air irigasi yang tak mumpuni.
BACA JUGA:Teman Alumni SMP Bertanya Soal Jalan, Sujono: Saya Sebenarnya Malu
BACA JUGA:Waspada Banjir, Pantau Debit Air Sungai. Begini Pesan Kapolsek Ketahun..
Dengan keberadaan puluhan hektar sawah yang kini relatif produktif. Slamet berharap, agar perbaikan irigasi untuk menyuplai air, menjadi perhatian pemerintah.
"Akibatkan kekeringan sejak lama, banyak sawah sulit diolah, karena gak kebagian air. Kondisi inilah yang menyebabkan alih fungsi sawah," bebernya.
Ancaman mundurnya masa panen, berimbas dengan harga beras tinggi kian menjadi persoalan pelik di daerah.
Apalagi, sejauh ini langkah yang dilakukan pemerintah cenderung memilih cara instan; bantuan pangan atau pun program operasi pasar.
BACA JUGA:DP2KBP3A Bakal Dampingi Korban Fitnah, Kekerasan dan Asusila
BACA JUGA:Kenaikan Gaji PNS 8 Persen, Pemerintah Mukomuko Tunggu Petunjuk Pusat
Kasuistik sektor pangan, khususnya beras secara nasional, tak ubahnya dengan apa yang terjadi di daerah.
Dengan potensi kawasan lahan sawah potensialnya, tak berimbas pada kemampuan pemenuhan kebutuhan lokal.
Keseriusan berupa kepastian di sektor hukum, bisa dibilang baru ditegasi tahun lalu. Formatnya lewat Perda Nomor 1 Tahun 2023 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) Kabupaten Bengkulu Utara (BU).
Itupun dikebut, setelah sadar "sanksi" pusat dengan ketiadaan fiskal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Irigasi.
BACA JUGA:PR Berat Genjot Produksi Beras Bengkulu Utara
BACA JUGA:Realisasi APBD 2023 Bengkulu Utara Dibongkar
Ditengah gempuran alih fungsi sawah. Menjadi ladang, bahkan perumahan. Malahan termasuk ada rumah pejabat dibangun di atas lahan sawah, menjadi sinyalemen ancaman di sektor pangan di masa depan.