Porsi Energi Terbarukan Semakin Besar
Petugas melakukan perawatan panel surya di PLTS Terapung Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Sabtu (16/3/2024). ANTARA FOTO/ Fauzan--
RADARUTARA.BACAKORAN.CO- Dunia kini didorong untuk terus mengurangi emisi karbonnya. Bahkan, negara dunia sudah sepakat menuju nol emisi karbon bisa dicapai sebelum tahun 2060.
Tentu tuntutan itu tidak ringan. Namun, komitmen itu sudah disepakati bersama. Demikian pula dengan Indonesia. Presiden Joko Widodo ketika berbicara di KTT COP 28 Dubai pun sudah menyuarakan tekadnya dan akan bekerja keras untuk mencapainya sebelum 2060.
Sebagai bentuk implementasi dari komitmen itu, di sektor ketenagalistrikan, Indonesia melalui PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), pun telah mengubah strategi ketenagalistrikannya dan menyesuaikannya dengan komitmen Indonesia soal emisi nol karbon sebelum 2060.
Seperti disampaikan Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo, pihaknya bersama pemerintah berencana merilis Rencana Usaha Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) baru, dalam waktu dekat.
BACA JUGA:Infrastruktur Angkutan Udara Siap Sambut Arus Mudik
BACA JUGA:Mencermati Minat Dunia pada Makanan Laut Indonesia
Dalam RUKN tersebut, porsi penggunaan pembangkit energi baru terbarukan semakin besar, yakni menjadi sebesar 60 Gigawatt (GW).
"Di sana (RUKN baru) akan diatur terkait pembangunan pembangkit EBT skala besar dan green transmission line yang menghubungkan antarpulau di tanah air," ujar Darmawan dikutip dari keterangan tertulis.
Darmawan mengatakan, RUKN terbaru menetapkan bahwa ekosistem EBT Indonesia akan ditopang oleh pembangkit berbasis hidro dan geothermal sebesar 32 Gigawatt (GW).
Selain itu, terdapat juga pembangkit berbasis surya dan angin sebesar 28 GW.
BACA JUGA:Layanan Telekomunikasi Tetap Asyik selama Mudik
BACA JUGA: PMI Manufaktur Indonesia Konsisten Ekspansi 31 Bulan Berturut-turut
Oleh sebab itu, dia mengatakan, pengembangan green transmission line atau jalur transmisi hijau akan berperan krusial untuk menyalurkan listrik hijau antarpulau.
Karena ada ketidaksinambungan antara lokasi sumber pembangkit EBT yang ada di luar Jawa, dengan pusat konsumsi listrik terbesar di Jawa.