Tambang Emas di Bukit Sanggul, Ancaman Kiamat Ekologis di Bengkulu

Agustam Rachman, MAPS-Radar Utara / Doni Aftarizal-
Oleh: Agustam Rachman, MAPS
Rencana PT. Energi Swa Dinamika Muda (ESDMu) untuk menggali tambang emas di Bukit Sanggul Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu, bukan sekadar proyek ekonomi semata.
Tetapi juga merupakan ancaman ekosida yang berpotensi menghancurkan ribuan hektar hutan, meracuni sungai dan mencabut mata pencaharian puluhan ribu petani.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (LHK RI) Nomor SK.533/MenLHK/Setjen/PLA.2/5/2023, yang menurunkan status kawasan Hutan Lindung Bukit Sanggul seluas 19.939,57 hektare menjadi Hutan Produksi Terbatas (HPT), tentunya buka angka biasa.
Sebaliknya, penurunan status tersebut setara dengan sepertiga wilayah Kota Bengkulu. Jika izin tambang ini lolos, maka berpeluang untuk menyaksikan pembunuhan berencana terhadap alam dan manusia.
BACA JUGA:Potensi Tambang Emas di Seluma Masuki Pembahasan PPKH
BACA JUGA:Kantongi IUP OP, Tambang Emas di Seluma Beroperasi
Sudah jelas apa yang dapat terjadi. Mulai dari bencana longsor, banjir bandang, kekeringan dan pencemaran limbah kimia.
Ribuan anak sungai bakal mengering, termasuk puluhan sungai besar juga tidak bakal lepas dari ancaman pencemaran dari penggunaan zat kimia berbahaya dari aktivitas pertambangan tersebut.
Sawah-sawah di dataran rendah juga terancam kehilangan sumber air. Ribuan petani yang selama ini menjadi tulang punggung ketahanan pangan Bengkulu, kehilangan segalanya.
Bicara dampak, tentunya tidak perlu dibayangkan, karena bisa dilihat dari keberadaan PT. Lusang Mining di Napal Putih Kabupaten Bengkulu Utara.
BACA JUGA:Potensi Tambang Emas di Seluma Masuki Pembahasan PPKH
BACA JUGA:Kantongi IUP OP, Tambang Emas di Seluma Beroperasi
Keberadaan perusahaan tambang emas ini sudah memberikan contoh nyata. Seperti kerusakan hutan, aliran sungai yang tercemar, dan kemiskinan yang makin parah. Warga yang dulu dijanjikan kesejahteraan kini hidup di tengah lahan kritis, dan air yang tak layak dikonsumsi.
Pertanyaannya, apakah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bengkulu dan pemerintah pusat tidak belajar dari sejarah? Atau mereka sengaja mengulangi kesalahan yang sama demi keuntungan segelintir orang?.