RUMAH MATAHARI 2

Ilustrasi -NW - 12/2024-
Mereka mengulurkan tangan, menyelamatkan kami dari jurang keputusasaan. Rumah Matahari, itulah nama yang mereka berikan pada rumah sederhana mereka yang menjadi tempat perlindungan kami, jauh dari hiruk pikuk dan bau busuk kota Jakarta.
"Terima kasih," ucap Ramadhan, air mata berlinang, saat pertama kali merasakan kehangatan dan kasih sayang di Rumah Matahari. Di sana, kami mendapatkan makanan yang cukup, pakaian yang layak, dan yang terpenting, kasih sayang yang selama ini kami rindukan.
Namun, kenangan akan masa lalu, masa-masa kelam kami berjuang melawan kelaparan dan keputusasaan di jalanan Jakarta, tetap terukir dalam benak kami.
BACA JUGA:Belajar dari Sang Gagak
BACA JUGA:Belenggu Sistem
"Setiap kali hujan turun, kami masih teringat betapa dingin dan laparnya kami," ujar Neil, mengenang masa lalu.
"Aku tidak akan pernah melupakan itu," tambahnya.
Setiap kali perut keroncongan, kami teringat betapa sulitnya mencari makanan, betapa getirnya perjuangan untuk bertahan hidup di tengah lingkungan yang keras dan tak ramah.
"Sekarang kita punya rumah," kata Kiola, tersenyum lebar.
Kenangan itu menjadi pengingat betapa berharganya kehidupan yang kami miliki sekarang, di Rumah Matahari. Rumah yang terbuat dari kayu, jauh lebih kokoh dari rumah kardus kami dulu, namun yang paling penting adalah kehangatan dan kasih sayang yang melingkupi kami di dalamnya. Kasih sayang yang tak pernah kami temukan di jalanan Jakarta, di tengah dinginnya malam dan lapar yang selalu mengancam.
Bumi Hujan 2024
(*)
BACA JUGA:Cecep Ingin Menjadi Kaya
BACA JUGA:Ibu, Pematang Sawah dan Cerita Seorang Gadis
Biodata Penulis :