RUMAH MATAHARI 2

Ilustrasi -NW - 12/2024-
Cerpen : Erna Wiyono
“Ketika satu dari kami jatuh sakit, yang lain akan berbagi makanan dan merawatnya, memastikan tak seorang pun tertinggal.”
Langit Jakarta menjadi atap kami, bintang-bintang saksi bisu penderitaan kami, anak-anak terbuang tanpa rumah, tanpa keluarga. Matahari yang terik membakar kulit kami yang kurus kering di antara reruntuhan bangunan tua dan tumpukan sampah di pinggir Kali Ciliwung.
"Aduh, panasnya!" keluh Neil, menyeka keringat di dahinya.
Bau busuk menyengat hidung, bercampur dengan aroma makanan sisa dari warung-warung kaki lima yang jaraknya bermil-mil dari tempat kami berteduh.
"Bau sekali," gerutu I Gusti Komang, menutup hidungnya dengan lengan.
BACA JUGA:Belajar dari Sang Gagak
BACA JUGA:Belenggu Sistem
Hujan, bukannya menjadi penyejuk, justru merendam kami hingga ke tulang, membuat kami menggigil kedinginan di bawah jembatan layang yang bocor.
"Dinginnyaaa..." desah Wuri, menggigil hebat.
Dan yang paling mengerikan, rasa lapar yang tak pernah henti-hentinya mencabik-cabik perut kami, di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur.
"Perutku lapar sekali," lirih Kiola, memegangi perutnya yang kosong.
Rumah kami hanyalah kardus-kardus reyot, sisa-sisa kemasan barang elektronik dan makanan, yang kami susun seadanya di bawah jembatan layang yang gelap dan lembab.
BACA JUGA:Cecep Ingin Menjadi Kaya