Penjamah di Tanah Tuah

Ilustrasi-Radar Utara-
"Saudaraku. Dengan wewenang pusat sungguh hanya itu yang bisa kami ajukan. Ayo kita pikirkan masa depan generasi kalian. Robi menyarankan kepada manager perusahaan untuk ditambahkan ganti rugi agar kalian bias tinggal di tempat yang layak. Manager setuju. Biarkan mereka lewat."
"Oh, benar dugaan ku dariawal. Memang pencuri itu tak hanya inginkan makam, tapi tanah kelahiran!" Dehen Djata hunuskan mandaunya.
Aku terkesiap. Suasana mendidih dalam siraman gerimis yang telah pekat jadi hujan. Sorakan kembali berbalas-balasan. Dua kubu mulai maju. Petugas akhirnya beri tembakan peringatan.
BACA JUGA:Celurit Matrah
BACA JUGA:Defisit Kebudayaan: Sastra dalam Bayangan Pasar dan Prinsip 5W-1H
"Jangan ada tindakan di luar batas. Simpan parang itu atau kalian kami tahan!!!" sergah petugas dan mulai membagi tim untuk membuat pagar.
Tiba-tiba dari arah belakang kelompok perusahaan, excavator dan bulldozer mulai meraung. Seolahnya lang dan merapat ke kami, dua alat berat itu mulai menjamah makam.
"Hoyyy!!!! Apa yang kau perbuat, bedebah!" pekik Dehen Djata dengan dada naik turun.
Aku pun membelalak tak percaya. Sigap, tanganku lekas mengambil bungkusan mangkuk jaranang. Ku keluarkan segera beras kuning dengan kunyahan daun. Mulutku segera merapal. Beras kuhambur kelangit, setengahnya kuhantamkan ketubuh kelompokku.
"Hentikan! Hentikan semuanya! Ku mohon tetap kondusif!"
Dor!!!Dor!!!
BACA JUGA:Kembali ke Laut
BACA JUGA:Ibu Sambung
Terus tembakan peringatan berbunyi melubangi udara di langit. Seolah tak peduli, mesin jadah itu terus merangsek.
Satu blontang akhirnya rubuh tergerus alat beriringan dengan tubuh saudara-saudaraku yang mulai bergetar kuat. Mata mereka sekejap memutih. Sumpah darah! Manakala sesiur angin menerpa barisan, dengan berang kami adalah murka kepakan enggang.