Indonesia Menuju Kedaulatan Mineral Kritis
Tumpukan katoda tembaga dipajang di sela Peresmian Produksi Smelter PT Freeport Indonesia (PTFI) di Smelter PTFI, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik, Jawa Timur. Indonesia sebagai salah satu produsen nikel terbesar dunia, pemerintah menargetkan untuk men- ANTARA FOTO/ Rizal Hanafi-
"Saya sangat senang, bahwa kita telah menyelesaikan MoU ini, sehingga bisa bersama-sama memastikan potensi dari pertumbuhan hijau, potensi lapangan kerja dan lainnya bagi masyarakat setempat," ujarnya.
Selain itu, Kementerian ESDM juga berupaya menarik minat Tesla, raksasa otomotif asal Amerika Serikat, untuk berinvestasi dalam pengembangan rantai pasok baterai kendaraan listrik di Indonesia. Hingga kini, pembicaraan masih terus berlangsung, dan jika tercapai, kesepakatan ini akan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain kunci dalam industri kendaraan listrik global.
BACA JUGA:Tantangan dan Peluang bagi Industri Lokal terhadap Impor Bahan Baku
BACA JUGA:Menyongsong Masa Depan Transportasi Ramah Lingkungan, Dengan Industri Kendaraan Berbasis Listrik
Kepala PSDMBP Agung Pribadi mengatakan, PSDMBP tengah berupaya untuk menjalin kerja sama dengan sejumlah perusahaan asing, yang difokuskan pada studi mendalam terkait potensi mineral kritis.
“Mineral kritis, seperti nikel, kobalt, dan litium, menjadi komoditas yang sangat dibutuhkan dalam pengembangan teknologi masa depan, terutama untuk baterai kendaraan listrik. Dengan adanya studi yang komprehensif, diharapkan dapat ditemukan cadangan mineral kritis baru yang lebih besar dan bernilai ekonomis tinggi," ujar Agung kepada pers.
Pilar Kebijakan
Langkah paling signifikan yang diambil pemerintah adalah kebijakan hilirisasi mineral, terutama untuk nikel. Indonesia sebagai salah satu produsen nikel terbesar dunia, pemerintah menargetkan untuk meningkatkan nilai tambah dari mineral ini dengan memprosesnya di dalam negeri sebelum diekspor.
BACA JUGA:Babak Baru Industri Tembaga Indonesia, Menjadi Tonggak Hilirisasi
BACA JUGA:Inilah Empat Jurus Pemulihan Industri Tekstil Nasional
Kebijakan ini didorong oleh larangan ekspor bijih nikel mentah yang diberlakukan sejak 2020, yang memaksa perusahaan tambang untuk berinvestasi dalam pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter.
Hilirisasi memberikan dampak positif yang besar. Pada 2021, ekspor produk nikel olahan seperti feronikel dan nikel matte mencapai lebih dari USD14 miliar, meningkat tajam dari tahun-tahun sebelumnya.
Indonesia, yang dulunya hanya mengekspor bijih mentah dengan nilai ekonomi yang rendah, kini menjadi salah satu eksportir utama produk nikel dengan nilai tambah lebih tinggi, yang digunakan dalam industri baja stainless dan baterai litium-ion.
Selain nikel, mineral lain seperti kobalt dan tembaga juga menjadi fokus dalam kebijakan hilirisasi, karena kedua mineral ini berperan penting dalam produksi baterai dan teknologi hijau lainnya.
BACA JUGA:PLN Siapkan Listrik Bersih Layani Pertumbuhan Industri Data Center di Indonesia