Oleh :Walidha Tanjung Files
Kanjeng menangis sejadi jadinya, karena pohon keramat warisan keluarganya telah tumbang. Pohon itu ada di halaman sebuah rumah kuno, yang tak begitu terawat.
Banyak dedaunan kering yang terjatuh dari pohon jambu mete itu. Rumah itu satu satunya yang diwariskan ibunya.
Namun harus dibagi dua dengan kakaknya yang sudah almarhum, sehingga ahli warisnya menurun pada anaknya.
Sebut saja namanya KSB, singkatan dari Kanjeng Sastro Bawana, namun aku biasa memanggilnya dengan sebutan Kanjenge. Ia hidup menjomblo sejak usianya sudah tidak lagi primadona.
BACA JUGA:Destinasi Wisata Saksi Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
BACA JUGA:Surabaya Bertransformasi dari ‘Kota Neraka’ Jadi Kota Wisata
Betul, dulu ia adalah seorang primadona. Pemuda yang ganteng, selalu jadi bintang atau lakon utama di setiap pagelaran ludruk di kabupaten kami.
Siapa yang tak terkagum-kagum dengan ketampanannya, juga bakat yang luar biasa, ia bisa menari, nembang jawa, bahkan pintar meramal.
Para wanita ketika itu suka curhat padanya, dan di akhir perbincangan selalu menanyakan nasibnya. Ya, itu namanya meramal, meski ia tak mau disebut sebagai peramal.
Suatu hari ia jatuh cinta pada seorang gadis dari Bali. Parasnya cantik, putih, mulus. Kanjenge jatuh cinta pada pandangan pertama.
BACA JUGA:Aturan Baru: Dokter Boleh Praktik di Tiga Tempat, Ini Syaratnya!
BACA JUGA:Syarat dan Prosedur Mendirikan CV
Seorang gadis dari Bali yang berlibur ke Jawa, untuk sambang ke rumah saudaranya. Kebetulan rumah saudara gadis itu terpaut beberapa rumah saja dari rumah Kanjenge.
Suatu pagi, ketika Kanjeng sedang menyapu halaman, gadis itu lewat di depan rumahnya. Rambutnya terkibas tertiup angin pagi, semerbak bau melati membius matanya, yang tak berkedip sedetikpun ketika gadis itu lewat.