BACA JUGA:Arus Mudik dan Balik, HK Gelar Operasi Simpatik
Tak hanya itu saja, fakta pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang lama pensiun, beroperasi lagi sebagai implikasi energi yang berasal dari angin dan matahari, belum perkasa sebagai pemasok energi untuk memenuhi kebutuhan setelah pagebluk Covid-19.
Itu terjadi di Jerman yang menghidupkan kembali PLTU sekitar 9 GW pada 2022 lalu. Dugaan embargo gas oleh Rusia, turut pula mewarnai cermatan pria asal Kota Padang, Sumatera Barat itu.
Dia menuliskan, krisis energi, yang terjadi di Eropa, berefek melonjaknya harga batubara dan gas yang sangat dibutuhkan pada saat musim dingin.
Maka, naiknya harga energi kemudian mengerek inflasi tinggi, berlanjut lagi dengan meroketnya harga-harga kebutuhan pokok.
BACA JUGA:Nambah Libur, ASN Harus Siap Disanksi
BACA JUGA: Ini Bentuk Dukungan Pemerintah terhadap Petani
Renewable energy yang selama ini menjadi obyek subsidi, kata dia, dapat saja dialihkan ke subsidi energi fosil.
"Inilah realita yang harus diterima oleh Uni Eropa," ujar Lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Lantas, tanya pun muncul. Bagaimana dengan Amerika Serikat (AS)? dalam kajiannya pada Juni itu, profesional yang sempat menjadi salah satu pembantu Presiden Joko Widodo atau Jokowi, saat menempati kursi menteri yang sebelumnya dijabat Sudirman Said itu bilang, AS masih dipandang mampu mencukupi kebutuhan energi mereka. Utamanya gas.
Sedangkan minyak mentah, sebagian masih impor. Malahan, perlahan tapi pasti, inovasi dalam pengelolaan yang dilakoni shale oil dan shale gas, mampu menempatkan Negeri Paman Sam itu sebagai negara produsen minyak dunia, mengalahkan Arab Saudi.
BACA JUGA:Porsi Energi Terbarukan Semakin Besar
BACA JUGA: Replika Raksasa Meriahkan Takbir Keliling Idul Fitri 2024 di Desa Karya Bakti
"Sewaktu Presiden Biden dilantik menjadi presiden, produksi minyak AS sekitar 11 juta barrel per day (BOPD). Tahun 2022 meningkat menjadi 12 juta BOPD dan tahun 2023 akan naik lagi menjadi 13 juta BOPD," begitu catatannya.
Torehan itu, menurut Archandra, menjadi rekor terbaru sejarah perminyakan AS, sekaligus langkah strategis AS dalam upaya mencapai ketahanan energi nasionalnya.
Belum ada tanda-tanda AS akan mengurangi kegiatan eksplorasi dan produksi migas paling tidak untuk 10 tahun kedepan.