Hal yang membuat tuan tanah kehilangan perilaku jahatnya sebab selama ini kerap membeli tanah dengan harga yang merugikan warga.
Tahun 1942, nama KH Noer Ali masuk dalam daftar ulama yang harus bekerja sama dengan penjajah Jepang.
Di tahun yang sama, penjajah Jepang memintanya agar bersedia bekerja sama dengan Jepang melalui rekan sejawat KH Noer Ali asal Thailand saat menjadi santri di Makkah.
KH Noer Ali dengan tegas menolaknya. Ia tak ingin pesantrennya nanti tak terurus dan para santrinya terpecah sebab enggan berkompromi dengan penjajah Jepang.
BACA JUGA:Pemprov Bengkulu Siap Beli X-Ray Untuk Pemeriksaan Keberangkatan CJH
BACA JUGA:Bimtek Public Speaking, Dewi Coryati: Pelaku Ekraf Harus Bisa Pasarkan Produk
Pada masa perebutan kemerdekaan, KH Noer Ali mempersiapkan santrinya untuk masuk ke latihan kemiliteran yang dibentuk Jepang. Ada juga yang disalurkan ke Pasukan Pembela Tanah Air agar ikut berperang di medan tempur.
KH Noer Ali bukan hanya berdiam diri sebagai ulama. Ia adalah “singa” medan perang. KH Noer Ali memimpin lascar-laskar rakyat untuk bertempur merebut kemerdekaan. KH Noer Ali bahkan pernah menjadi Komandan Bataliyon Tentara Hizbullah Bekasi.
Sejarah mencatat, tahun 1947 KH Noer Ali terlibat pada pertempuran sengit di Karawang-Bekasi dengan tentara penjajah Belanda.
KH Noer Ali kala itu memerintahkan warga dan pasukannya untuk membuat bendera merah putih ukuran kecil lalu dipasang di setiap pohon dan tiang.
Tujuannya untuk mempertegas bahwa Indonesia masih ada dan siap mempertahankan kemerdekaannya.
Sumber : Indonesia.go.id